Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet meyakini masyarakat akan melakukan penghematan pengeluaran pada tahun depan, akibat penerapan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 12% pada 1 Januari 2025.
Yusuf menjelaskan penyesuaian tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa secara langsung maupun tidak langsung.
"Saya kira untuk kelompok kelas menengah ataupun mereka yang terkategori sebagai aspiring middle class berpotensi akan melakukan penyesuaian konsumsi untuk merespon perubahan harga yang akan terjadi," kata Yusuf kepada Bisnis, Sabtu (28/12/2024).
Apalagi, sambungnya, ada rencana penguatan baru yang dikenakan untuk kelompok buruh tertentu seperti implementasi dana pensiun wajib.
Oleh sebab itu, pada awal atau pertengahan 2025, Yusuf mendorong pemerintah melakukan penyesuaian berbagai kebijakan tersebut agar pertumbuhan ekonomi tidak tertekan.
Jika masyarakat menghemat pengeluaran maka konsumsi rumah tangga akan melambat. Masalahnya, konsumsi rumah masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca Juga
Data terakhir dari Badan Pusat Statistik menunjukkan konsumsi rumah tangga mendistribusikan 53,08% dari produk domestik bruto (PDB) pada Kuartal III/2024.
Yusuf mengungkapkan Center of Reform on Economics Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,8%—5% pada 2025.
"Batas bawah pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah kami set berdasarkan asumsi kebijakan pemerintah yang belum mampu mendorong perekonomian secara lebih optimal di tahun ini ditambah kebijakan yang berpotensi justru menambah beban masyarakat di tahun depan," jelas Yusuf.
Tak hanya dari internal, Yusuf mengingatkan tantangan ekonomi juga datang dari eksternal. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) periode 2025—2029 diyakini akan mengubah dinamika perekonomian global.
Dia mengingatkan, Trump cenderung memiliki kebijakan proteksionisme seperti yang ditunjukkan ketika memimpin AS periode pertama (2017—2021). Akibatnya, perang dagang antara AS dan China akan semakin memanas.
Masalahnya, sambung Yusuf, AS dan China merupakan salah dua mitra utama perdagangan Indonesia. Akibatnya, ditakutkan kinerja ekspor Indonesia akan terganggu pada tahun depan.
"Kebijakan proteksionisme Trump juga bisa mempengaruhi perubahan harga komoditas. Sayangnya kondisi ini tidak begitu bagus bagi Indonesia yang masih relatif tergantung pada pergerakan harga komoditas," ujar Yusuf.
Kenaikan Harga
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengklaim kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan terlalu berdampak signifikan kepada perubahan harga barang/jasa.
Direktur P2Humas Ditjen Pajak Dwi Astuti meyakini penerapan PPN 12% hanya akan menaikkan harga sebanyak 0,9%. Dwi pun memberi contoh cara perhitungan kenaikan biaya akibat penerapan PPN 12%:
A berlangganan Netflix seharga Rp100.000. Dengan PPN 11%, dia terutang PPN sebesar Rp11.000 sehingga total pembayaran Rp111.000.
Kemudian dengan PPN 12%, A terutang PPN sebesar Rp12.000 sehingga total pembayaran Rp112.000. Perhitungan selisih kenaikannya: (Rp110.000 - Rp112.000) / Rp110.000) × 100% = 0,9%.
"Cuma 0,9% dari PPN yang harus dibayar," jelas Dwi di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira punya perhitungan yang berbeda. Menurutnya, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan berdampak ke kenaikan harga hingga 9,09%.
Contohnya A membeli seharga Rp5.000.000. Dengan PPN 11%, dia terutang PPN sebesar Rp550.000 sehingga total pembayaran Rp5.550.000.
Kemudian dengan PPN 12%, A terutang PPN sebesar Rp600.000 sehingga total pembayaran Rp5.600.000. Perhitungan selisih kenaikannya (Rp5.600.000 - Rp5.550.000) / Rp5.550.000) × 100% = 9,09%
"Perlu dibedakan antara selisih tarif dengan kenaikan tarif," kata Bhima kepada Bisnis, Selasa (19/11/2024).