Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daripada PPN, Pemerintah Lebih Baik Fokus Kejar Pajak Karbon dan PPh Digital

Dibanding mengejar PPN, pemerintah lebih baik fokus untuk mengejar pajak karbon dan pajak digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani membagikan momen berbincang dengan Presiden Prabowo di sela KTT G20 Brasil melalui laman instagramnya./@instagram
Menteri Keuangan Sri Mulyani membagikan momen berbincang dengan Presiden Prabowo di sela KTT G20 Brasil melalui laman instagramnya./@instagram

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah akhirnya memilih jalan tengah dengan mengenakan tarif 12% hanya untuk barang mewah. Keputusan itu ditempuh setelah muncul protes dari berbagai macam kalangan terhadap rencana kenaikan PPN.

"Saya ulangi. Barang dan jasa yang selama ini diberi fasilitas pembebasan pajak yaitu ppn 0% masih berlaku," kata Presiden Prabowo Subianto saat konferensi pers usai agenda Tutup Kas Akhir Tahun 2024 dan Lauching Coretax di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (31/12/2024).

Prabowo mengatakan kenaikan PPN 12% merupakan amanah perintah dari UUD No 7 tahun 2021, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Jadi, sesuai kesepakatan pemerintah pusat dengan DPR. 

Menurutnya, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan pada awal 2025 untuk kembali menaikkan dari 11% menuju 12%.

“Kemudian perintah UU dari PPN 11 ke 12% pada 1 Januari 2025, besok. Kenaikan bertahap ini dimaksud agar tidak memberi dampak signfikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.

Prabowo menegaskan barang dan jasa tertentu yang selama ini terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada dan masyarakan mampu, misalnya pesawat jet pribadi, kapal persiar atau yacht, serta rumah yang sangat mewah. 

"Artinya, untuk barang jasa selain tergolong barang mewah tidak ada kenaikan ppn. Tetap sebesar berlaku sekarang, yang sejak 2022 [11%]," ucapnya. 

Pajak Karbon 

Sebelum hiruk pikuk kenaikan PPN, pemerintah sejatinya memiliki alternatif lain untuk mengejar penerimaan pajak salah satunya dari pajak karbon. 

Pajak karbon adalah amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan fiskal itu mulanya dijadwalkan berlaku pada 1 April 2022, lalu mundur menjadi 1 Juli 2022, bahkan hingga kini masih belum berlaku.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berdalih bahwa pemerintah terus menyiapkan payung hukum hingga kesiapan industri sebelum akhirnya pajak karbon dapat diterapkan di Indonesia.

“Kita siapkan terus building block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya, kesiapan dari sisi perekonomian dan industrinya,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Djakarta Theater, Sabtu (24/8/2024).

Meski belum diterapkan, Sri Mulyani menyebut bahwa Indonesia telah memiliki pasar karbon yang dapat melakukan cap and trade. Menurutnya, kehadiran pasar karbon merupakan mekanisme yang dapat terus diakselerasi untuk mengontrol emisi yang dihasilkan. 

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar belum lama ini menilai bahwa kenaikan PPN tersebut mencerminkan preferensi pemerintah yang cenderung 'pilih kasih' dalam kebijakan perpajakan.

Media mengemukakan pembahasan pajak karbon cenderung tidak memperlihatkan kemajuan karena pemerintah masih dalam proses menghitung valuasi karbon. Pembahasan juga meliputi cakupan sektor yang menjadi target pajak dan kesepakatan multilateral.

“Jadi ya suka suka aja, akhirnya pajak karbon tidak dioptimalkan, singkatnya ya dengan PPN 12% saja,” tuturnya. 

Media berpandangan pajak karbon bisa menjadi solusi alternatif daripada kenaikan PPN 12%. Selain bisa mendorong pengurangan emisi, pajak karbon dinilainya bisa menghasilkan pendapatan tambahan. 

Pajak Digital 

Selain pajak karbon, pemerintah sejatinya juga telah memiliki landasan hukum untuk menarik pajak dari perusahaan over the top alias OTT seperti Google, Meta, dan perusahaan multinasional lainnya yang memperoleh keuntungan di Indonesia.

Sejauh ini Indonesia belum ada keberanian untuk memajaki perusahaan multinasional yang bergerak di sektor digital. Pemerintah menunggu konsesus global yang diinisiasi oleh OECD. Sayangnya, konsesus global juga tidak pasti apalagi implementasi kebijakannya mundur dari tahun 2024 menjadi 2025 atau tahun ini.

Adapun pengenaan pajak ke perusahaan digital telah diatur dalam Undang-undang No.2/2020 yang waktu itu keluar saat pandemi Covid-19. Pasal 6 ayat 1 b secara eksplisit mengatur bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dilakukan kepada subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.

Itu artinya PMSE asing yang beroperasi di Indonesia wajib membayar pajak penghasilan, bukan PPN seperti sekarang ini yang sebenarnya dibebankan kepada konsumen. 

Adapun, mekanisme pengenaan pajak penghasilan PPh kepada PMSE dihitung berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan yang terdiri dari tiga komponen. Pertama, peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu. Kedua, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu. Ketiga, pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu.

Sayangnya kendati telah diatur secara mendetail, pemerintah sampai sekarang belum berani untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait mekanisme pemungutan PPh bagi korporasi. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper