Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), Andry Asmoro, menegaskan pentingnya pemerintah memastikan agar perekonomian Indonesia bisa tumbuh di atas 5% supaya tidak ditinggalkan investor.
Asmo, sapaan Andry Asmoro, meyakini bahwa kini era cheap money alias periode suku bunga rendah sudah berakhir. Akibatnya, investor tidak akan sembarangan menanamkan modalnya ke suatu negara.
"Karena sekarang narasi bagi investor adalah di mana tempat yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang relatively lebih baik," ujar Asmo dalam acara Starting Year Forum 2025, Selasa (4/2/2025).
Oleh sebab itu, dia menyambut positif apabila Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8% dalam lima tahun ke depan.
Asmo memaparkan bahwa Bank Mandiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2024 berada di angka sekitar 4,9% sampai dengan 5%. Begitu juga pada 2025, Bank Mandiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 4,9% sampai dengan 5,1%.
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga sektor yang memiliki potensi tumbuh tinggi ke depan.
Baca Juga
Pertama, sektor telekomunikasi. Rata-rata kecepatan internet di Indonesia masih salah satu yang terburuk di kawasan ASEAN, sehingga besar potensi perbaikannya.
Kedua, sektor kesehatan. Menurutnya, Bank Mandiri selalu memberikan penilaian yang tinggi terhadap potensi sektor kesehatan di Indonesia, bahkan sebelum pandemi.
Ketiga, sektor manufaktur. Asmo menjelaskan bahwa kebijakan hilirisasi pemerintah dapat mendorong pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia.
"Jadi kalau ditanya, 'Sektor apa yang berpotensi untuk tumbuh?' Selalu sektornya adalah yang domestic-based [berbasis di dalam negeri]," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Bambang Brodjonegoro, menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia kerap bergantung pada dua faktor, yaitu harga komoditas global (eksternal) dan peristiwa-peristiwa besar domestik (internal).
Menurutnya, dua faktor tersebut akan membedakan perekonomian Indonesia pada 2025 dengan 2024.
Untuk faktor harga komoditas global, Bambang melihat prospeknya akan memburuk pada 2025, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat periode 2025—2029.
Dia meyakini bahwa kebijakan Trump yang proteksionis akan menciptakan eskalasi perang dagang, sehingga berpotensi memengaruhi harga komoditas global. Aktivitas ekspor-impor Indonesia pun akan terganggu.
"Harga komoditasnya kemungkinan sulit untuk mencapai harga yang favorable [menguntungkan] bagi Indonesia, apakah itu harga CPO [minyak sawit], apakah itu harga coal [batu bara], ataukah harga nickel [nikel] misalkan. Jadi memang dari sisi global tidak banyak yang bisa kita harapkan," jelas Bambang.
Sementara itu, dari faktor internal, ekonomi Indonesia bergantung pada peristiwa besar seperti Lebaran, Natal, Tahun Baru, hingga pemilu dan pilkada, karena mendorong konsumsi.
Pada 2024, semua peristiwa besar tersebut terjadi. Masalahnya, tidak ada pemilu dan pilkada lagi pada 2025.
"Artinya, mesin yang mendorong pertumbuhan konsumsi yang mendominasi pertumbuhan ekonomi tidak sekuat di 2024," ungkap Bambang.
Menteri Keuangan periode 2014—2016 itu pun meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini bergantung pada keberhasilan dua program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu makan bergizi gratis dan pembangunan 3 juta rumah per tahun.
Menurutnya, jika dieksekusi dengan baik, program makan bergizi gratis dan pembangunan 3 juta rumah per tahun akan menimbulkan efek berganda yang besar terhadap perekonomian, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Yang penting, dua program ini harus kelihatan eksekusinya di tahun ini," jelas Bambang.