Bisnis.com, JAKARTA — Konsumsi rumah tangga belum pulih seperti masa pra pandemi Covid-19. Ekonom pun menekankan pentingnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mendukung daya beli kelas menengah.
Secara historis, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak pernah lebih dari 5% sejak 2020. Selama itu juga, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kerap di bawah pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Terbaru, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,94% secara tahunan pada 2024. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% secara tahunan pada 2024.
Masalahnya, konsumsi rumah tangga selalu menjadi komponen terbesar pembentuk produk domestik bruto (PDB). Selama 2024, distribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,04% terhadap pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan yang paling berkontribusi atas pertumbuhan konsumsi rumah tangga adalah kelas menengah. Menurutnya, kelas menengah berkontribusi lebih dari 60% dari total konsumsi rumah tangga.
Sejak pandemi Covid-19, sambungnya, daya beli kelas menengah belum pulih. Sementara itu, Faisal mencatat daya beli kelas bawah sudah setara seperti masa pra pandemi dan daya beli kelas atas sudah pulih sejak lama.
Baca Juga
"Karena ternyata setelah pandemi intervensi kebijakan yang kaitannya memengaruhi income [upah] dan juga biaya hidup ini tidak cukup, bahkan bertambah bebannya misalkan pungutan-pungutan perpajakan dan lain-lain," ujar Faisal kepada Bisnis, Rabu (5/2/2025).
Oleh sebab itu, dia meyakini nasib kelas menengah harus menjadi perhatian utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ke depan. Faisal pun menyarankan tiga langkah yang perlu diikuti pemerintah untuk memulihkan daya beli masyarakat.
Pertama, pemerintah tidak boleh menambah beban kelas menengah dari sisi biaya hidup. Menurutnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak menambah beban pajak, cukai, hingga retribusi kelas menengah.
Kedua, pemerintah memberikan insentif dari sisi biaya. Dia mengapresiasi insentif potongan tarif listrik 50% yang diberikan pemerintah.
Kendati demikian, dia menyayangkan insentif tersebut hanya berlaku selama dua bulan. Padahal, menurutnya, pemulihan daya beli masyarakat perlu berbulan-bulan.
"Jadi tidak bisa intervensi hanya dua bulan atau enam bulan. Jadi memang perlu lebih banyak dan lebih panjang," katanya.
Ketiga, perlunya kebijakan yang mendorong peningkatan upah masyarakat kelas menengah. Faisal mencontohkan, perlunya insentif lebih banyak untuk mendukung usaha mikro dan kecil, memberikan akses pasar melalui kebijakan perdagangan.
"Kemudian yang kaitannya untuk supaya menghindari misalkan terjadinya PHK, deal-deal-an dengan perusahaan di sektor yang rentan," tutupnya.