Bisnis.com, JAKARTA - Transformasi ekonomi desa menjadi motor pertumbuhan nasional menuntut pendekatan kelembagaan yang lebih kuat, partisipatif, dan berakar pada komunitas lokal.
Dalam konteks ini, pengembangan Koperasi Merah Putih sebagai model koperasi multipihak menghadirkan jalan baru untuk memperluas inklusi keuangan, memberdayakan masyarakat desa, serta mendorong pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial.
Dengan plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar per koperasi yang disalurkan melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), koperasi ini berpotensi menjadi instrumen keuangan yang berfungsi layaknya branchless banking melayani masyarakat tanpa kantor fisik, namun dengan jangkauan hingga pelosok desa.
PEMIKIRAN HATTA
Pemerintah menargetkan pembentukan koperasi ini di 83.794 desa di seluruh Indonesia. Ini bukan sekadar agenda kelembagaan, melainkan bagian dari upaya menciptakan sistem ekonomi kerakyatan yang menyatu dengan realitas sosial budaya desa. Namun, potensi besar ini juga dibayangi oleh tantangan struktural dari kapasitas manajerial, tata kelola, hingga daya serap masyarakat terhadap layanan keuangan formal.
Dalam konteks ini, pemikiran Mohammad Hatta menjadi landasan fundamental. Hatta tidak melihat koperasi semata sebagai instrumen ekonomi, tetapi sebagai sarana perjuangan melawan ketimpangan dan eksploitasi ekonomi kapitalis. Baginya, koperasi adalah lembaga yang bertumpu pada self-help, self-reliance, dan mutual aid. Hatta menekankan bahwa koperasi adalah bentuk demokrasi ekonomi sejati, di mana rakyat kecil dapat bersama-sama menciptakan kesejahteraan tanpa tergantung pada modal besar. Dalam bukunya Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Hatta menulis bahwa “koperasi bukan hanya alat teknik ekonomi, melainkan juga alat teknik sosial untuk memperkuat sendisendi gotong-royong dan keadilan sosial”.
Koperasi Merah Putih, dalam semangat itu, harus menjadi rumah bersama seluruh elemen masyarakat desa—petani, nelayan, pelaku usaha mikro, perempuan, pemuda, hingga aparat desa. Ia harus menjadi ruang yang transparan dan demokratis. Untuk itu, dibutuhkan pendampingan intensif sejak awal, termasuk pelatihan manajemen koperasi, edukasi hukum, literasi digital, serta pembentukan budaya organisasi yang akuntabel. Pendampingan ini akan membangun kepercayaan antar anggota dan memperkecil risiko kegagalan kelembagaan.
Baca Juga
Sinergi koperasi dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) sangat penting agar koperasi terintegrasi dalam dokumen perencanaan desa. Dengan begitu, koperasi tidak berjalan sendiri, tetapi menjadi bagian dari strategi pembangunan jangka menengah desa bersama BUMDes dan pelaku ekonomi lainnya.
KONSEP MULTIPIHAK
Konsep koperasi multipihak menjadi vital, kelembagaan ini harus berfungsi sebagai pusat klasifikasi, pendampingan, dan penjamin koperasi desa. Koperasi multipihak merupakan koperasi yang anggotanya berasal dari berbagai kelompok sosial atau ekonomi yang saling berkaitan dalam suatu ekosistem usaha atau komunitas. Setiap kelompok merupakan representasi dalam struktur organisasi koperasi, serta hak suara dalam musyawarah.
Koperasi juga perlu membangun sistem audit digital dan skema pembiayaan kolektif seperti koperasi bond. Integrasi koperasi ke sistem digital nasional dan penyusunan profil kredit kolektif akan membuka akses koperasi desa terhadap lembaga keuangan nasional, sekaligus meningkatkan kepercayaan investor. Namun, sebaik apa pun rancangan kelembagaan, ujung tombak tetaplah pada literasi dan kesadaran ekonomi masyarakat desa. Koperasi Merah Putih harus menjadi ruang belajar, bukan ruang distribusi pasif. Ia harus memanusiakan ekonomi, bukan sekadar menggulirkan dana.
INTEGRASI INDUSTRI
Dari sisi operasional, Koperasi Merah Putih dapat belajar dari Grameen Bank di Bangladesh. Dengan pendekatan solidaritas kelompok, pinjaman tanpa agunan, dan integrasi literasi keuangan, Grameen Bank sukses mendorong jutaan warga miskin ke dalam sistem ekonomi formal. Model ini sangat relevan bagi koperasi di desa-desa Indonesia yang seringkali tidak memiliki jaminan aset maupun pengalaman keuangan.
Untuk menguatkan argumentasi, kita dapat menengok keberhasilan Selandia Baru melalui koperasi Fonterra Cooperative Group Limited, sebuah koperasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir di sektor pertanian dan produk susu. Fonterra bukan sekadar koperasi peternak, tetapi entitas ekonomi yang menyatukan ribuan UMKM, industri olahan susu, dan pelaku ekspor dalam satu ekosistem bisnis closeloop. Yang menjadikan Fonterra istimewa adalah model koperasi yang tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi juga menjaga stabilitas harga, membina rantai pasok lokal, dan melibatkan komunitas dalam inovasi produk.
Keberhasilan model ini diuji ketika dunia dilanda pandemi COVID-19. Saat sebagian besar negara mengalami kontraksi ekonomi karena ketergantungan pada ekspor dan impor, Selandia Baru justru mencatatkan pertumbuhan positif. Padahal negara tersebut menutup perbatasannya lebih awal dari negara-negara lain. Ketahanan ekonomi Selandia Baru salah satunya ditopang oleh model koperasi besar seperti Fonterra yang telah membangun basis ekonomi domestik yang tangguh, berbasis komunitas dan UMKM.
Di Indonesia, model seperti Fonterra sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks desa di mana koperasi bukan hanya menjadi lembaga simpan pinjam, tetapi juga agregator produksi, pemasar produk lokal, penyedia logistik, hingga penyelenggara edukasi bisnis. Jika koperasi Merah Putih dapat bertransformasi ke arah itu, maka akan tercipta ekosistem ekonomi desa yang berkelanjutan, bukan sekadar penyalur pembiayaan. Risiko Koperasi Merah Putih
Namun, risiko implementasi tetap perlu diantisipasi. Berdasarkan kalkulasi apabila diimplementasikan ke seluruh desa dibutuhkan modal sebesar Rp251,382 triliun. Pembangunan koperasi ini juga tetap dibayangi adanya potensi kegagalan asumsi.
Menggunakan pendekatan multiplier bertahap, kontribusi ke PDB nasional pada 2026–2028 diperkirakan meningkat dari 0,37% hingga 0,46%, dengan total dampak kumulatif Rp372 triliun apabila koperasi merah putih sudah terbangun di seluruh tanah air.
Namun jika seluruh dana berasal dari likuiditas Himbara, maka akan terjadi shifting sebesar likuiditas yang cukup besar di Bank Himbara yang dapat menekan ekspansi kredit sektor lain. Di sisi lain, jika dana koperasi gagal tidak dijamin oleh skema penjaminan, maka rasio NPL perbankan BUMN dapat naik dari hingga 2,78%, mendekati ambang sehat 3%.
Tetapi apabila dikelola dengan mengadopsi semangat Mohammad Hatta, didukung sistem kelembagaan kuat, serta belajar dari model koperasi tangguh seperti Fonterra di Selandia Baru, maka Koperasi Merah Putih dapat menjadi fondasi kedaulatan ekonomi Indonesia dari desa. Inilah saatnya membangun ekonomi bukan dari pusat ke pinggiran, melainkan dari desa ke Indonesia.