Bisnsi.com, JAKARTA — Efisiensi anggaran yang dilakukan Prabowo Subianto disebut berpotensi membuat Industri perhotelan berguncang. Pendapatan sebesar Rp24,5 triliiun terancam hilang.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyampaikan, rata-rata pangsa pasar pemerintah untuk hotel bintang 3 hingga bintang 5 sekitar 40%.
Dengan adanya kebijakan efisiensi, maka industri perhotelan diramal kehilangan pendapatan sekitar Rp24,5 triliun.
“Itu kami sudah hitung kurang lebihnya potensi hilangnya itu adalah Rp24,5 triliun untuk seluruhnya, bintang 3, 4, 5, ya,” kata Hariyadi dalam konferensi pers Musyawarah Nasional (Munas) XVIII PHRI Tahun 2025, Selasa (11/2/2025).
Hariyadi yang juga merupakan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) itu mengungkapkan, dampak kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah terhadap industri perhotelan sudah mulai terasa.
Hingga saat ini, Hariyadi menyebut bahwa tidak ada pemesanan yang masuk dari kalangan pemerintah, baik untuk meeting maupun kegiatan lainnya.
Baca Juga
Jawa Barat Sepi
Sementara itu pada 2024, tingkat okupansi hotel bintang empat di Kabupaten Cirebon mengalami penurunan signifikan sepanjang 2024.
Dua hotel besar di daerah tersebut, Hotel Aston dan Hotel Patra, mencatatkan penurunan jumlah tamu yang menginap dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon, Hotel Aston mencatat okupansi sebanyak 72.446 tamu sepanjang 2024, turun drastis sebesar 33,04% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, Hotel Patra masih lebih stabil dengan jumlah tamu sebanyak 70.237, meski tetap mengalami penurunan sebesar 6,12%.
Penurunan okupansi hotel di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu yang bakal memperparah adalah kebijakan pemerintah daerah yang melarang penyelenggaraan acara seremonial di hotel.
Larangan ini berdampak langsung pada tingkat hunian kamar, terutama dari sektor meetings, incentives, conferences, and exhibitions (MICE) yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi hotel berbintang.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Cirebon Ida Khartika menyebutkan kebijakan tersebut mempersempit ruang gerak industri perhotelan.
"Banyak instansi yang biasanya mengadakan kegiatan di hotel kini mencari alternatif lain, seperti gedung pertemuan milik pemerintah atau bahkan daring. Ini jelas berdampak pada tingkat okupansi,” kata Ida.
Selain itu, daya beli masyarakat yang masih lemah serta persaingan dengan penginapan non-hotel, seperti guest house dan apartemen sewa, juga menjadi tantangan tersendiri.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Rizki Handayani Mustafa mengungkap bahwa pemangkasan anggaran terjadi di sejumlah kementerian/lembaga termasuk Kemenpar. Mereka juga menyadari bahwa kondisi berisiko menciptkan PHK massal.
“Ibu Menteri [Widiyanti Putri Wardhana] memang sedang mencoba meyakinkan bagaimana dampaknya pemotongan anggaran ini terhadap di industri,” ungkap Kiki dalam diskusi panel.
Kemenpar turut meminta dukungan informasi dan data dari asosiasi pariwisata mengenai kerugian yang dialami imbas adanya kebijakan efisiensi anggaran.
“Mudah-mudahan perjuangan kita bersama semua, kami minta dukungan dari industri juga untuk bisa memperlihatkan bagaimana kontribusi pariwisata dalam perekonomian,” pungkasnya.