Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai prospek investasi untuk komoditas batu bara masih potensial di tengah isu transisi energi bersih. Pemerintah masih melihat ada peluang mengoptimalkan batu bara sambil menjaga ketahanan iklim dan lingkungan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, investor batu bara tidak perlu ragu untuk terus berbisnis di komoditas tersebut. Apalagi, dia menyebutkan bahwa Uni Eropa masih mengajukan permintaan batu bara dengan kontrak jangka panjang ke Indonesia.
"Yakinlah bahwa yang pemain batu bara, silakan dulu investasi, enggak apa-apa bagus kok, masih bagus, enggak apa-apa. Eropa saja masih minta kontrak dengan Indonesia 20 tahun kok, ekspor batu bara," kata Bahlil di Jakarta, dikutip Rabu (12/2/2025).
Bahlil memastikan batu bara masih terus dibutuhkan. Kendati demikian, terdapat beberapa penyesuaian dalam pengolahannya. Misalnya, terhadap PLTU batu bara, diperlukan teknologi carbon capture and storage untuk menangkap emisi karbon yang dihasilkan.
"Saya ingin batu bara ini kalau di Indonesia untuk PLTU-nya harus ada teknologi yang menangkap carbon capture untuk kita melahirkan energi yang murah, tapi juga CO2-nya kita bisa tangani dengan baik," tuturnya.
Ketua Umum Partai Golkar itu juga menilai bahwa penggunaan batu bara menjadi opsi transisi energi dengan ongkos yang lebih murah. Dia menerangkan biaya produksi listrik 1 kWh dari batu bara hanya berkisar 5-6 sen.
Baca Juga
Sementara itu, listrik yang bersumber dari pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) biayanya dapat di atas 10 sen. Menurut perhitungannya, perbandingan ongkos listrik dari batu bara dan gas memiliki selisih Rp5-6 triliun per tahun.
"Kalau dia 10 tahun, berarti kurang lebih sekitar Rp50-60 triliun. Kalau kita konversi menjadi 10 GW, itu berarti 10 kali Rp60 triliun untuk 10 tahun, Rp600 triliun. Itu selisih harga. Kemudian, 1 GW kebutuhan gas kita, itu kurang lebih sekitar 20 sampai 25 kargo," terangnya.
Dengan selisih yang cukup besar, Bahlil menuturkan bahwa negara tidak mungkin untuk memberikan subsidi maupun membebankan ke masyarakat. Untuk itu, pihaknya tengah merencanakan untuk menggunakan PLTU, tetapi dikombinasikan dengan EBT.
"Kita blending. Blending dengan gas, kemudian matahari, atau kita lagi mendesain untuk menangkap carbon capture-nya sehingga batu baranya itu batu bara bersih," terangnya.
Bahlil juga menegaskan bahwa rencana pemerintah untuk melakukan pensiun dini PLTU tetap dilakukan. Namun, secara bertahap. Adapun, Bahlil akan mengawalinya dengan pensiun dini PLTU Cirebon yang berkapasitas 600 megawatt (MW).
Dalam hal ini, Bahlil juga tak memungkiri terjadi perubahan peta dunia terkait transisi energi imbas keluarnya Presiden AS Donald Trump dari komitmen Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang dicetuskan pada 2016 lalu.
Kala perjanjian dimulai, seluruh dunia berbondong-bondong membuat peta jalan energi hijau untuk menciptakan industri yang bersih.
"Tapi begitu Pak Trump jadi Presiden Amerika, bubar jalan ini semua, bubar jalan. Kita pikir batu bara sudah selesai, eh bernyawa lagi barang ini, bernyawa lagi barang ini," tuturnya.
Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk melanjutkan transisi energi bersih. Namun, dia menyebutkan bahwa pihaknya akan melanjutkan dengan mengukur skala prioritas dari sisi keuangan negara dan biaya kelistrikan nasional.