Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Menteri BUMN I Kartika Wirjoatmodjo tidak banyak memberikan komentar ketika dikonfirmasi terkait klausul dalam UU BUMN yang menegaskan kerugian BUMN bukanlah kerugian negara.
DPR diketahui telah mengesahkan amandemen ketiga Undang-Undang (UU) No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awal Februari 2025.
Salah satu klausul dalam amandemen tersebut menegaskan bahwa kerugian BUMN tidak dianggap sebagai kerugian negara. Begitu pula sebaliknya, keuntungan BUMN bukanlah keuntungan negara.
Terkait hal itu, Kartika, yang akrab disapa Tiko, hanya meminta publik menunggu beleid baru tersebut diluncurkan secara resmi. Dia juga menyatakan bahwa aturan turunan masih dalam tahap penyusunan.
"Nanti, tunggu diundangkan dulu ya. [Soal aturan turunan] lagi disusun aturannya," ujarnya saat ditemui awak media di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (19/2/2025) malam.
Dalam penjelasan Pasal 4B dalam draf UU BUMN tertanggal 4 Februari 2025, modal dan kekayaan BUMN disebut sebagai milik BUMN. Oleh karena itu, setiap keuntungan atau kerugian perusahaan pelat merah bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara.
Baca Juga
Klausul tersebut sejatinya tidak berbeda dengan Daftar Inventarisasi Masalah RUU BUMN pada 16 Januari 2025. Namun, RUU BUMN yang telah disahkan mengubah sejumlah paradigma dalam pengelolaan BUMN.
Dalam beleid baru ini, terdapat dua poin penting yang telah disetujui DPR. Pertama, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Kedua, perubahan status BUMN dan adopsi prinsip business judgment rule, yang menegaskan BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara serta bahwa kerugian yang dialami BUMN tidak dianggap sebagai kerugian negara.
Keberadaan pasal yang mengatur status direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN sebagai entitas yang bukan penyelenggara negara mempersempit ruang gerak otoritas penegak hukum dalam menangani kasus fraud dalam investasi atau pengelolaan BUMN.
Padahal, baik dalam UU BUMN yang masih berlaku maupun dalam UU hasil revisi, modal perusahaan pelat merah tetap bersumber dari APBN, salah satunya melalui penyertaan modal negara (PMN).
Dalam UU baru itu juga terjadi perubahan besar dalam paradigma mengenai modal BUMN. Pasal 4 dalam UU yang masih berlaku menegaskan modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk PMN.
Ketentuan mengenai sumber modal lain terdapat dalam pasal tentang privatisasi, seperti Pasal 74 Ayat 1a, yang menyebutkan tujuan privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat dalam perusahaan Persero.
Namun, dalam aturan baru, struktur modal BUMN mengalami perubahan besar. Pemerintah dan DPR menyepakati modal BUMN adalah bagian dari keuangan BUMN, bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan, dan dikelola berdasarkan prinsip good corporate governance.
Frasa "kekayaan negara yang dipisahkan" telah diubah menjadi "keuangan BUMN." Sumber modal BUMN berasal dari APBN maupun non-APBN. Sumber modal dari APBN mencakup dana tunai, barang milik negara, piutang negara dari BUMN, serta aset negara lainnya.
Sementara itu, sumber modal non-APBN bisa berasal dari keuntungan revaluasi aset, kapitalisasi cadangan, agio saham, dan sumber lain yang sah.