Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rontoknya Daya Saing Hambat Pencapaian Rencana Pembangunan Industri

Rontoknya daya saing industri disebut menjadi faktor target Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tak tercapai dalam sedekade terakhir.
Pegawai merapikan mebel di salah satu gerai di Jakarta, Senin (4/3/2024). /Bisnis-Himawan L Nugraha
Pegawai merapikan mebel di salah satu gerai di Jakarta, Senin (4/3/2024). /Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha menilai rontoknya daya saing industri menjadi polemik tak berkesudahan yang memicu target Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tak tercapai dalam sedekade terakhir. 

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), RIPIN 2015-2035 diundangkan dan ditandatangani pada 6 Maret 2015 lewat Peraturan Pemerintah No 14.2015 tentang RIPIN 2015-2035. 

Sedekade berlalu, sekarang jika dilihat dari sasaran indikator pembangunan industri, nyaris sebagian besar gagal terwujud sesuai target. Indikator pembangunan industri seperti pertumbuhan sektor industri nonmigas jauh di bawah target RIPIN.

Misalnya, kinerja pertumbuhan industri yang ditargetkan mencapai 9,1% tahun ini. Namun, realisasi tahun lalu hanya tumbuh di angka 4,75% year-on-year, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS). 

Tak hanya itu, kontribusi industri nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) juga ditargetkan tumbuh ke angka 27,4% yoy pada 2025. Namun, faktanya hingga saat ini, baru mencapai 18,98% yoy. Capaian tersebut bahkan jauh lebih rendah dari 2 dasawarsa lampau di level 28%. 

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, tantangan besar yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini yakni rontoknya daya saing industri dibandingkan negara lain.  

“Daya saing kita, udah pasti jawabannya. Jadi kalau kita mengacu ke negara Vietnam ya, untuk apple to apple, begitu kuatnya daya saing mereka itu mereka sangat efisien dalam banyak aspek,” kata Sobur saat ditemui di Jiexpo, Kamis (6/3/2025). 

Dalam hal ini, dia mencontohkan kebijakan pajak Vietnam yang dipangkas untuk menarik investor masuk. Tak hanya itu, aturan pengupahan atau UMR di negara tersebut juga berlaku dengan nilai maksimum. Sementara itu, di Indonesia kebijakan pajak naik dan UMR diterapkan dengan angka terendah. 

Menurut Sobur, pemerintah Vietnam jor-joran mendukung industri dengan menciptakan regulasi yang dapat menghilangkan hambatan pertumbuhan industri negara tersebut, termasuk memikat investasi asing. 

“Mereka betul-betul beri kesempatan seluas dan dimudahkan sehingga daya saing mereka membaik dan jadi tampil di dunia, sangat kompetitif, Indonesia belum seperti itu,” terangnya. 

Bahkan, dia menyebut sebanyak 630 perusahaan mebel asal China melakukan relokasi pabrik ke Vietnam dalam 10 tahun terakhir. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi perang dagang China-AS. 

"Lebih dari 630 perusahaan mebel dari China berpindah kesana [Vietnam] itu di 10 tahun terakhir. China itu pintar, kan perang dagang nih, tarifnya mahal, tapi kalau dari Vietnam, dia melenggang karena Vietnam punya free trade agreement [FTA] dengan Amerika Serikat," jelasnya. 

Kinerja ekspor industri mebel Indonesia mencapai US$2,5 miliar pada 2024, angka tersebut tertinggal dari Vietnam yang ekspornya mencapai US$20 miliar. 

Terlebih, menurut data Expert Market Research, nilai pasar furnitur global tahun 2024 mencapai US$660 miliar, dan diperkirakan akan terus tumbuh sebesar 4,9% pada periode 2025 hingga 2034.

Untuk membidik pasar tersebut, pemerintah dinilai mesti mengadopsi cara Vietnam menjaga iklim industri dan investasi sehingga dapat menangkap potensi relokasi pabrik imbas perang dagang. 

"Kalau negara itu mau maju, sebagaimana Vietnam, sebagai benchmarking, perlu dikasih insentif diperbesar, premanisme kalau di Vietnam sudah habis, mungkin minim. Jadi wajar kalau ekspor mebel mereka bisa mencapai US$20 miliar karena negara itu kondusif untuk investasi," jelasnya. 

Tak hanya itu, Vietnam juga didukung oleh penerapan FTA dengan Amerika dan Eropa, sementara Indonesia belum terdapat kesepakatan tersebut. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper