Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Goldman Sachs Proyeksikan Defisit APBN 2025 Capai 2,9%, Di Ambang Batas Undang-Undang

Goldman Sachs Group Inc. memproyeksikan defisit APBN 2025 mencapai 2,9%, padahal target pemerintah di kisaran 2,53%.
Logo The Goldman Sachs & Co di bursa saham New York Stock Exchange (NYSE), New York, Amerika Serikat. / Bloomberg-Scott Eells
Logo The Goldman Sachs & Co di bursa saham New York Stock Exchange (NYSE), New York, Amerika Serikat. / Bloomberg-Scott Eells

Bisnis.com, JAKARTA — Goldman Sachs Group Inc. memproyeksikan defisit APBN akan semakin melebar dan mendekati batasnya, yakni 2,9% pada 2025.

Dilansir dari Bloomberg, proyeksi itu terungkap dalam publikasi terbaru mengenai penurunan peringkat saham dan obligasi Indonesia. Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi negara tenor 10 dan 20 tahun menjadi neutral, serta menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight.

Risiko fiskal Indonesia menjadi alasan utama bank raksasa tersebut menurunkan proyeksinya atas pasar modal Indonesia. Terdapat kekhawatiran atas ketegangan perdagangan global dan pelemahan ekonomi domestik setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan serangkaian kebijakan fiskal.

Alhasil, Goldman Sachs memproyeksikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 mencapai 2,9%. Proyeksi itu lebih lebar dari target pemerintah, yakni defisit 2,53%.

Proyeksi 2,9% dari Goldman Sachs mendekati batas maksimal defisit APBN yang ditetapkan pemerintah, yakni 3%. Proyeksi itu sejalan dengan risiko fiskal yang dikhawatirkan Goldman Sachs.

Dalam sepuluh tahun terakhir, defisit APBN melebihi 3% hanya pada saat pandemi Covid-19, yakni 2020 dan 2021. Pemerintah menetapkan pengecualian karena tingginya kebutuhan belanja negara untuk penanganan pandemi, ketika penerimaan negara berkurang drastis karena perekonomian terganggu.

Defisit APBN pada 2020 tercatat mencapai 6,09%, lalu pada 2021 defisit menjadi 4,65%. Selain dua tahun itu, defisit APBN tercatat selalu berada di bawah 3%.

Meskipun demikian, dalam satu dekade terakhir defisit APBN tidak pernah mendekati 2,9% seperti yang diperkirakan Goldman Sachs. Catatan defisit terlebar terjadi pada 2015, yakni mencapai 2,59%.

Melebarnya defisit APBN 2025 dinilai sebagai dampak dari belanja jumbo untuk program seperti makan bergizi gratis (MBG), realokasi anggaran, pembentukan BPI Danantara, hingga perluasan kebijakan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui penerbitan SBN Perumahan.

Lalu, belum rilisnya data APBN periode Januari 2025 juga membuat para investor resah dan mempertanyakan bagaimana kondisi fiskal pemerintahan Prabowo pada 2025, setelah program makan bergizi gratis berlangsung dan adanya implementasi sistem inti perpajakan alias Coretax.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro menyampaikan bahwa rencananya, rilis data fiskal terbaru akan berlangsung pada pekan ini, meskipun belum ada tanggal pasti.

"Insyaallah [konferensi pers APBN KiTa] jadi, semoga sesuai rencana. Pertengahan minggu, tanggalnya belum pasti," ujar Deni kepada Bisnis, Minggu (9/3/2025).

Menteri Keuangan Sri Mulyani dan seluruh jajarannya memiliki 'utang' untuk menyampaikan data APBN Januari dan Februari 2025 secara rinci kepada masyarakat, seperti mencakup penerimaan pajak, belanja negara, pembiayaan, hingga utang negara.

Laporan APBN Januari 2025, Gambaran Kondisi Fiskal Pemerintahan Prabowo

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menuturkan publikasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) berguna untuk memantau postur fiskal secara berkala.

“Ini cukup penting, apakah di bawah target, di atas target, ini menjadi acuan kita untuk melihat kondisi fiskal dan perekonomian terkini,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (7/3/2025).

Dengan tidak adanya publikasi dalam dua bulan terakhir, Riefky berpandangan bahwa hal tersebut justru menurunkan aspek transparansi yang ada.

Terlebih, para investor yang menempatkan uangnya di Surat Utang Negara (SUN) juga perlu mengetahui dan melakukan penilaian atau evaluasi terhadap kondisi perekonomian Tanah Air saat ini.

Riefky berpandangan bahwa tanpa adanya transparansi dan keterbukaan publik dari APBN KiTa, maka investor hanya dapat berspekulasi dengan realisasi seadanya.

“Jadi ada informasi asimetri dan itu berdampak negatif baik untuk capital flow maupun sentimen investor,” lanjutnya.

Ekonom Oversea-Chinese Banking Corp Lavanya Venkateswaran menyampaikan bahwa para investor sedang menunggu data terbaru untuk mengukur dampak dari langkah-langkah fiskal baru-baru ini dengan lebih baik.

Kurangnya informasi mengenai kondisi fiskal terbaru dapat mempengaruhi sentimen investor. Rupiah turun 2,9% dalam tiga bulan terakhir, menjadikannya mata uang dengan performa terburuk di Asia, sementara indeks saham utama telah turun 10% selama periode tersebut. Sentimen pasar obligasi juga terpengaruh.

Pakar strategi pendapatan tetap dan makro di PT Mega Capital Lionel Priyadi menyampaikan tanpa informasi itu, imbal hasil obligasi tidak dapat mengikuti reli bullish yang telah terjadi di pasar obligasi Amerika Serikat selama dua minggu terakhir.

“Penundaan [publikasi data APBN] yang berkepanjangan dapat menciptakan sentimen negatif,” tuturnya, dilansir dari Bloomberg.
(Annasa Rizki Kamalina, Surya Dua Artha Simanjuntak)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper