Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengaku khawatir kepercayaan investor kepada Bank Indonesia akan berkurang akibat otoritas moneter tersebut rajin membeli surat berharga negara alias SBN.
Wija menjelaskan bahwa jika Bank Indonesia (BI) terus-menerus membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah maka akan merusak mekanisme alamiah pasar.
"Investor akan mempertanyakan independensi BI, serta kualitas dan integritas kebijakannya," ujar Wija kepada Bisnis, Kamis (20/3/2025).
Staf khusus Wakil Presiden untuk ekonomi dan finansial periode 2014—2019 itu menjelaskan BI mempunyai dua tugas utama yaitu menjaga tingkat inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Caranya, lewat dua mekanisme utama yaitu menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan dan menyerap atau melepas rupiah di pasar.
Sementara itu, pemerintah memerlukan anggaran besar untuk membiayai program kerjanya. Masalahnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kerap mengalami defisit.
Untuk menutup defisit APBN, pemerintah akan berutang dengan menerbitkan SBN. Dalam tahap ini, objektivitas BI dan pemerintah kerap berbeda.
Baca Juga
Wija menjelaskan jika pemerintah terus menerbitkan surat utang maka risiko SBN akan meningkat sehingga diperlukan suku bunga yang tinggi untuk tetap menarik investor. Jika risiko sudah teramat tinggi maka investor tidak akan membeli.
"Mekanisme pasar ini membuat pemerintah terpaksa mengerem agresivitasnya dalam berutang, menghindarkannya dari debt trap [jebakan utang]," jelasnya.
Permasalahan akan muncul ketika BI bisa membeli SBN di pasar perdana (burden sharing) karena akan menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja. Akhirnya, pemerintah akan semakin agresif berutang.
Jika BI menyerap SBN di pasar perdana, maka otoritas moneter tersebut sebenarnya sedang mengguyur pasar dengan rupiah (quantitative easing).
"Semakin banyak rupiah yang diguyurkan maka nilai rupiah akan semakin jatuh; BI gagal menjaga nilai tukar rupiah dan negara akan mengalami krisis nilai tukar mata uang," ungkap Wijayanto.
Lantas, bagaimana apabila BI menyerap SBN di pasar sekunder? Wija berpendapat sepanjang tidak ada komitmen awal sebenarnya tidak masalah.
Hanya saja, jika ada komitmen awal seperti pada kasus rencana penerbitan SBN Perumahan maka artinya BI berperan sebagai standby buyer atau investor penjamin terselubung.
"Ini tidak terlalu berbeda dengan membeli SBN di pasar perdana, sehingga independensi BI pun dipertaruhkan," kata Wija.
Dia juga mengaku terganggu dengan pertemuan Gubernur BI Perry Warjiyo dengan Menteri Perumahan Maruarar Sirait di berbagai kesempatan dan lokasi beberapa waktu belakangan.
Sebelumnya, Perry Warjiyo memang sempat mengungkapkan BI akan turut menyukseskan pembiayaan program perumahan rakyat pemerintah. Salah satu caranya, sambung Perry, dengan membeli SBN yang akan diterbitkan Kementerian Keuangan di pasar sekunder.
"Kami sudah bicara dengan Bu Menteri Keuangan yang dananya dapat digunakan tidak hanya untuk debt switching untuk SBN yang jatuh tempo dari eks Covid, tapi juga untuk pendanaan program-program perumahan," kata Perry di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2025).
Rajin Beli SBN
BI sendiri melaporkan bahwa sepanjang tahun ini hingga 18 Maret 2025, total SBN yang telah bank sentral beli senilai Rp70,7 triliun. Belum rampung kuartal I/2025, BI artinya telah membeli 47,13% surat utang pemerintah dari rencana awal pembelian sepanjang tahun ini yang senilai Rp150 triliun.
Perry menyampaikan bahwa pembelian tersebut sesuai dengan kebijakan moneter dan kebutuhan bank sentral untuk ekspansi likuiditas.
“Kenapa perlu ekspansi likuiditas? [BI] Perlu melakukan intervensi dengan jual devisa, kalau jual devisa berarti rupiah kan kesedot. Kalau intervensi berarti kami menjual devisa, rupiahnya kan terkontraksi,” tuturnya dalam konferensi pers, Rabu (19/3/2025).
Oleh karena itu, pembelian SBN dimaksudkan untuk menyuplai rupiah kembali lagi ke sistem keuangan.
“Jadi enggak usah gundah gulana, memang kami pembelian SBN dalam rangka supaya kebiajkan moneter kami pro-stability dan pro-growth,” lanjut Perry.
Adapun secara perinci, pembelian SBN senilai Rp70,7 triliun tersebut terdiri dari pembelian melalui pasar sekunder senilai Rp47,3 triliun dan Rp23,4 triliun melalui pasar primer berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
Untuk diketahui, BI boleh membeli surat utang di pasar perdana berupa SPN, yakni yaitu SUN berjangka waktu sampai dengan 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, kepemilikan SBN neto oleh BI per 18 Maret 2025 senilai Rp1.588,26 triliun atau naik dari posisi awal Januari 2025 yang senilai Rp1.441,19 triliun.
Meski secara nominal mengalami kenaikan dalam beberapa bulan terakhir, namun secara persentase justru mengalami penurunan pada periode yang sama, dari 29,41% menjadi 25,59% dari total outstanding SBN.
Di sisi lain, Perry sebelumnya sudah memberikan sinyal adanya potensi pembelian SBN lebih banyak dari rencana awal tersebut.
Hal tersebut diungkapkan pada RDG Desember 2024, di mana Perry menuturkan rencananya pembelian tersebut menjadi salah satu jurus untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
“Bisa jadi sampai Rp150 triliun bahkan kemungkinan bisa lebih tinggi. Nanti kami akan bicarakan,” ujarnya, Rabu (18/12/2024).
Dalam rencana tersebut, bank sentral akan memantau berbagai perkembangan dinamika pasar keuangan, uang primer, serta kebutuhan likuiditas sebelum membeli SBN di pasar sekunder.