Bisnis.com, JAKARTA — World Bank atau Bank Dunia mengungkapkan bahwa terdapat potensi penerimaan pajak yang hilang dengan kontribusi rata-rata 6,4% terhadap PDB. Padahal, apabila terkumpul, potensi pajak itu dapat menunjang pembangunan dan kepentingan publik.
Hal itu tercantum dalam laporan Bank Dunia bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia, alias analisis perkiraan kesenjangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia, yang terbit pada Maret 2025.
Bank Dunia menyoroti bahwa kinerja Indonesia dalam mengumpulkan pajak memburuk dengan signifikan. Terdapat potensi kehilangan pajak hingga Rp944 triliun dalam kurun 2016—2021.
Angka tersebut diperoleh berdasarkan analisis kepatuhan setoran PPN dan PPh Badan. Hasilnya, besarnya kesenjangan pajak (tax gap) menyebabkan efisiensi setoran dua sumber utama penerimaan pajak tersebut sangat rendah.
"Estimasi kesenjangan PPN dan PPh Badan yang tercatat rata-rata mencapai 6,4% dari PDB atau Rp944 triliun pada periode 2016—2021," tulis Bank Dunia, dikutip Rabu (26/3/2025).
Lembaga keuangan internasional itu menyatakan PPN dan PPh Badan yang merupakan sumber utama penerimaan pajak Indonesia tidak bekerja secara maksimal.
Hasil perhitungan Bank Dunia menunjukkan, rata-rata kesenjangan antara PPN yang seharusnya dibayar dengan PPN yang sebenarnya dibayar mencapai 43,9% atau setara 2,6% dari PDB selama 2016—2021. Dalam nominal, selisih tersebut setara Rp386 triliun.
Sementara itu untuk PPh Badan, rata-rata kesenjangan yang seharusnya dibayar dengan yang sebenarnya dibayar mencapai 33% atau setara 1,1% dari PDB selama 2016—2021. Dalam nominal, selisih tersebut setara Rp160 triliun.
“Itu dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit,” tulis Bank Dunia.
Lembaga yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat itu pun memberikan sejumlah saran untuk memaksimalkan penerimaan dari PPN dan PPh Badan di Indonesia.
Bank Dunia mengindikasikan bahwa salah satu penyebab belum maksimalnya penerimaan PPN dan PPh Badan di Indonesia karena tingginya ambang batas pengenaan pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Memang, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan.
Bank Dunia melihat, tingginya ambang batas tersebut menyebabkan banyak korporasi yang tak dikenai pajak. Selain itu, UMKM menjadi kurang diawasi dan meningkatkan ketidakpatuhan pelaporan pajak formal.
“Menurunkan ambang batas serta memperkenalkan larangan hukum pengelompokan dapat mengurangi selisih [penerimaan yang seharusnya dengan yang sebenarnya] PPN dan PPh,” tulis Bank Dunia.
Selain itu, Bank Dunia melihat pangsa aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia sangat besar yang nilainya mencapai 17,6% hingga 21,8% dari total PDB. Masalahnya, aktivitas ekonomi bawah tanah tidak terdeteksi secara administrasi perpajakan.
Oleh sebab itu, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah harus memperluas akses informasi tentang seluruh kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan data pihak ketiga untuk meningkatkan penegakan kepatuhan pajak.
“Wajib pajak yang masih berada di luar sistem—UMKM dan sektor yang tidak dikenakan pajak—harus dimasukkan ke dalam pelaporan PPN dan PPh untuk mengintegrasikan mereka sepenuhnya ke dalam sistem di masa mendatang,” tutup Bank Dunia.
Kesenjangan kepatuhan sendiri merujuk kepada semua sumber ketidakpatuhan pajak seperti minimnya pelaporan, penhindaran, penipuan, kesalahan administratif, dan sebagainya.
Sementara kesenjangan kebijakan mengacu kepada nilai pajak yang seharusnya dibayar dengan yang sebenarnya apabila seluruh basis pajak dikenakan tarif yang berlaku.
Hasil perhitungan Bank Dunia menunjukkan, rata-rata kesenjangan kepatuhan setoran PPN mencapai Rp386 triliun per tahun selama 2016—2021. Sementara itu, rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPN mencapai Rp138 triliun per tahun selama 2016—2021.
Artinya, pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak Rp524 triliun per tahun hanya dari kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPN.
Belum lagi dari PPh Badan. Perhitungan Bank Dunia mendapati bahwa rata-rata kesenjangan kepatuhan setoran PPh Badan mencapai Rp161 triliun per tahun selama 2016—2021. Sementara itu, rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPh Badan mencapai Rp258 triliun per tahun selama 2016—2021.
Artinya, pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak Rp419 triliun per tahun hanya dari kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPh Badan.
"Secara keseluruhan, kesenjangan kepatuhan memiliki dampak yang lebih besar kepada penerimaan PPN dibandingkan dengan kesenjangan kebijakan. Sebaliknya, kesenjangan kebijakan memiliki dampak yang besar kepada penerimaan PPh Badan dibandingkan dengan kesenjangan kepatuhan," simpul Bank Dunia.
Bank Dunia pun menyatakan kinerja pengumpulan pajak pemerintah Indonesia sangat buruk. Mereka mencontohkan, pada 2021 rasio pajak Indonesia hanya sebesar 9,1%.
Rasio pajak Indonesia itu lebih rendah dari negara-negara di kawasan seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%). Bahkan, Bank Dunia menyatakan rasio pajak Indonesia sebagai salah satu yang terendah di dunia.
Potensi Pajak yang Hilang Bisa Biayai Pendidikan 55 Juta Orang
Potensi Rp944 triliun yang hilang itu sejatinya bisa membiayai pendidikan jutaan orang dan berbagai kepentingan publik lainnya.
Sebagai perbandingan, dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp724,3 triliun dan anggaran kesehatan hanya senilai Rp218,5 triliun.
Artinya, setoran pajak yang hilang tersebut seharusnya bisa membiayai program-program pendidikan dan kesehatan selama tahun ini.
Pemerintah merancang, anggaran pendidikan senilai Rp724,3 triliun digunakan untuk biayai berbagai beasiswa seperti Program Indonesia Pintar (PIP) kepada 20,4 juta siswa, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah kepada 2,1 juta mahasiswa, LPDP kepada 4.971 mahasiswa, bantuan operasional sekolah (BOS) ke 43,4 juta siswa, dan Bantuan Operasional Penyerahan Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD) ke 6,1 juta peserta didik.
Selain itu, anggaran pendidikan itu juga digunakan untuk biayai tunjangan profesi untuk 477.700 guru non PNS serta 1,5 juta guru pegawai negeri sipil (PNSD) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Belum lagi untuk revitalisasi sekolah hingga pendanaan riset.
Sementara itu, pemerintah mencanangkan anggaran kesehatan senilai Rp218,5 triliun untuk biayai pembuatan makan bergizi untuk ibu hamil/menyusui dan balita, peningkatan efektivitas program JJKN, peningkatan akses dan ketersediaan layanan kesehatan, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga peningkatan jumlah dan kualitas SDM kesehatan.
Baca Juga : Tak Ada Coretax di APBN KiTa |
---|