Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Mengoreksi Kebijakan MinyaKita

Kementerian Perdagangan telah menjatuhkan sanksi administratif kepada 106 pelaku usaha pelanggar tata niaga Minyakita.
Kemendag menyita produk Minyakita yang tak sesuai takaran yang diproduksi PT Artha Eka Global Asia (AEGA) di pabrik PT AEGA, Karawang, Teluk Jambe Timur, Jawa Barat, Kamis (13/3/2025) — Bisnis/Rika Anggraeni
Kemendag menyita produk Minyakita yang tak sesuai takaran yang diproduksi PT Artha Eka Global Asia (AEGA) di pabrik PT AEGA, Karawang, Teluk Jambe Timur, Jawa Barat, Kamis (13/3/2025) — Bisnis/Rika Anggraeni

Bisnis.com, JAKARTA - Heboh temuan isi MinyaKita dikurangi telah berlalu. Data Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri per 24 Maret 2025, sebanyak 13 orang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan Minyakita. Pelakunya adalah industri minyak goreng ilegal.

Modusnya beragam, mulai pemalsuan merek, penggunaan lisensi Minyakita oleh industri minyak goreng resmi, dan mengurangi isi atau volume. Kementerian Perdagangan telah menjatuhkan sanksi administratif kepada 106 pelaku usaha pelanggar tata niaga Minyakita.

Tindakan hukum dan pemberian sanksi kepada para pelaku pelanggar tata niaga MinyaKita harus dilakukan. Selain sebagai bagian penegakan hukum (law enforcement) ini juga untuk memberikan efek jera. Pelaku sedapat mungkin dijatuhi sanksi maksimal. Meskipun demikian, upaya penindakan hukum tidak bisa berdiri sendiri. Upaya itu harus dibarengi dengan langkah-langkah mengoreksi kebijakan tata niaga MinyaKita. Tanpa upaya mengoreksi kebijakan saat ini, perilaku curang amat mungkin terulang kembali.

Salah satu yang tidak berubah sejak ada penindakan masif terhadap pelaku curang MinyaKita adalah harga minyak goreng ini tetap bertahan tinggi, bahkan melampaui di atas Harga Eceran Tertinggi (HET): Rp15.700/liter. Merujuk data SP2KP Kementerian Perdagangan, 26 Maret 2025, rerata harga MinyaKita Rp17.100/liter. Harga ini hanya turun Rp100/liter dibandingkan Februari 2025. Jika ditarik jauh ke belakang, pelampauan HET sebenarnya sudah terjadi sejak pertengahan 2023, hampir 2 tahun. Ini sepertinya tidak semata-mata masalah teknis, tapi ada problem struktural yang jadi biang penyebab.

Pertama, ongkos produksi MinyaKita yang tidak masuk di akal. Produsen, merujuk Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1028/2024, harus menjual MinyaKita ke Distributor Lini 1 (D1) maksimal Rp13.500/liter. Lalu, D1 melepas ke D2 maksimal Rp14.000/liter, D2 menjual ke pengecer Rp14.500/liter, dan pengecer ke konsumen akhir Rp15.700/liter. Dengan memperhitungkan margin keuntungan, biaya olah, kemasan, dan distribusi harga maksimal bahan baku, yakni minyak sawit mentah (CPO), tak lebih dari Rp10 ribu/kg. Kalau harga CPO lebih dari itu produsen MinyaKita potensial merugi.

Celakanya, harga CPO domestik berada di atas Rp10.000/kg sudah berlangsung lama. Malahan 6 bulan terakhir harganya berkisar Rp15.000—Rp16.000/kg. Adalah benar produsen MinyaKita terus berproduksi di tengah potensi kerugian. Salah satu ‘akrobat’ yang mungkin dilakukan adalah produsen menjual bundling MinyaKita dengan barang lain agar kerugian tertutupi. Boleh jadi, ‘akrobat’ lainnya adalah mencurangi isi. Jika ini dilakukan produsen, hemat saya, terlalu berani. Bisa jadi pelakunya adalah para trader.

Kedua, membatasi distributor hanya sampai lini 2 untuk wilayah seluas Indonesia dengan beragam kondisi daerah adalah absurd, bahkan mustahil. Pembatasan ini amat ideal. Tapi terbentur realitas yang sulit dieksekusi. Ini terkonfirmasi temuan Kementerian Perdagangan: distributor MinyaKita sampai D3 dan D4 yang berujung harga di atas HET. Jika pun ada D1 dan D2 yang punya kemampuan dan jejaring bisa menjangkau seluruh wilayah negeri, jumlahnya mungkin segelintir. Dan, jangan-jangan, mereka juga bagian dari grup produsen MinyaKita. Di sinilah pentingnya transparansi. Aplikasi Simirah yang didesain untuk memantau distribusi mestinya menjadi pembuktian keterbukaan itu.

Ketiga, beleid MinyaKita mengulang skema kebijakan yang sudah terbukti gagal mengatasi gonjang-ganjing minyak goreng pada 2021-2022. Dari 21 regulasi yang pernah diterbitkan untuk mengatasi gejolak minyak goreng pada 2021—2022 bertumpu pada tiga skema: HET minyak goreng (curah dan kemasan), wajib pemenuhan kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO) dan wajib harga penjualan domestik (domestic price obligation/DPO). DMO dan DPO adalah syarat eksportir CPO mendapatkan izin ekspor dengan rasio tertentu sesuai dinamika pasar. Bukan teratasi minyak goreng malah langka.

Kalau sudah tahu skema DMO, DPO, dan HET tidak manjur mengatasi masalah minyak goreng kok masih dijadikan jurus andalan memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau buat rakyat seperti MinyaKita? Salah satu kelemahan skema DMO adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO, bahan baku minyak goreng. Tatkala harga CPO naik otomatis harga MinyaKita naik. Sebaliknya, kala harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tak otomatis turun. Jika turun biasanya amat lambat. Beleid ini juga menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara.

Langkah menindak pelaku penyunatan isi dan penjualan MinyaKita di atas HET harus dilakukan. Mereka secara terang-terangan menipu rakyat dengan mengurangi isi. Agar tidak berulang, pengawasan harus diperketat. Diakui atau tidak, kisruh MinyaKita terjadi karena pengawasan tidak efektif. Bukankah ada Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga di Kementerian Perdagangan, juga Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang langsung di bawah presiden, dan aparat penegak hukum? Ke mana saja mereka selama ini. Akan tetapi, penegakan hukum tak akan mengubah apa-apa jika tidak dibarengi upaya mengoreksi kebijakan menyeluruh guna mengubah ekosistem yang ada.

Ke depan pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga dan pasar. Kalau hendak menyubsidi MinyaKita untuk kelompok miskin/rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai. Uang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli barang lain. Sumber uang bisa didapatkan dari kenaikan pungutan ekspor (levy), misalnya 1%, yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan yang sebelumnya bernama BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Cara ini tidak mendistorsi harga dan lebih tepat sasaran.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Khudori
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper