Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang mengizinkan Indonesia ekspor beras ke luar negeri.
Meski demikian, ia mengingatkan agar pemerintah mengutamakan kepentingan nasional dan kesejahteraan petani sebelum memutuskan untuk mengekspor beras.
"Kita support untuk ekspor, tapi harus dipastikan kebutuhan nasional aman dan minimal tidak ada lagi berita tentang impor beras, prioritas pertama dan utama adalah Indonesia mandiri dan berdaulat pangan, setelah tercapai dan berlebih baru kita ekspor," kata Daniel Johan dalam keterangan tertulis, Minggu (27/4/2025).
Untuk diketahui, Presiden Prabowo belum lama ini mengungkapkan saat ini produksi beras di Indonesia melimpah dan pasokan pemerintah sudah melampaui kebutuhan yang ada.
Lebih lanjut, dia mengatakan kini beberapa negara sudah mulai melakukan pendekatan agar Indonesia mau berbagi pasokan beras.
Prabowo pun mengizinkan pengiriman beras atau ekspor ke negara lain dengan alasan memenuhi asas kemanusiaan. Bahkan saat beras diekspor, Prabowo meminta jangan terlalu banyak mencari untung, yang penting bisa balik modal sudah cukup.
Baca Juga
Menanggapi hal tersebut, Daniel mengaku sepakat dengan Prabowo agar Indonesia membantu negara lain yang membutuhkan.
“Tapi sebelum membuka keran ekspor, kita minta Pemerintah memastikan harga gabah dibeli secara adil, tata niaga beras dikendalikan negara, dan tidak ada kelangkaan yang hanya akan menyuburkan spekulasi dan keresahan publik,” ungkap Politisi Fraksi PKB ini .
Daniel juga mengingatkan agar kebijakan pangan, terutama beras, harus menyatu dalam kerangka ketahanan nasional.
“Karena sekali kita menyerahkan stok kepada pasar global, maka harga pangan dalam negeri tak lagi bisa dijamin oleh semangat konstitusi, melainkan akan ditentukan oleh kalkulasi dagang yang dingin dan tak mengenal keadilan sosial," tutur Daniel.
Dalam kesempatan yang sama, Daniel pun menyinggung data harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang saat ini justru di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yakni Rp 6.500 per kg seperti yang sudah ditetapkan pemerintah. Kondisi ini, kata Daniel, menimbulkan kekhawatiran bahwa surplus beras nasional belum sepenuhnya berhasil.
“Kebijakan ekspor beras tidak bisa dilepaskan dari realitas di lapangan. Jika petani tidak mendapat harga yang layak, dan distribusi pangan masih dikuasai segelintir pelaku, maka ekspor hanya akan menambah jurang ketimpangan,” ujarnya.
Selain itu, Daniel juga menyoroti sejarah Indonesia yang pernah mengalami krisis pangan, seperti pada 1998. Dia harap pengalaman-pengalaman ini dapat menjadi bahan pertimbangan dari pemerintah.
“Kita harus belajar dari pengalaman. Negara-negara yang terburu-buru mengekspor bahan pangan sebelum sistem domestik kuat justru menghadapi lonjakan harga dan gejolak sosial. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama,” ucap Legislator dari Dapil Kalimantan Barat I itu.
Oleh karenanya, Daniel mengingatkan agar keputusan ekspor harus didasarkan pada kalkulasi yang adil dan menyeluruh. Termasuk memastikan tersedianya cadangan pangan yang memadai sebelum melakukan ekspor, harga gabah stabil dan menguntungkan bagi petani, serta tidak ada kelangkaan di pasar domestik.
“Dalam konstitusi, pangan adalah hak warga negara. Maka, kebijakan beras harus berangkat dari semangat melindungi rakyat, bukan semata untuk meraih keuntungan dagang," tegas Daniel.
"Pemerintah harus berpijak pada keadilan bagi petani sebagai produsen, masyarakat sebagai konsumen, dan negara sebagai penjaga stabilitas,” pungkasnya.