Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Yakin Pajak Minimum Global Perluas Basis Penerimaan, Pakar UI: Dampaknya Terbatas

Pemerintah meyakini penerapan pajak minimum global akan memperluas basis pajak.
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. / dok. Sekretariat Kabinet-Humas Kemenkeu
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. / dok. Sekretariat Kabinet-Humas Kemenkeu

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah meyakini penerapan pajak minimum global akan memperluas basis pajak. Hanya saja, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai pajak minimum global tidak akan memperluas basis pajak secara signifikan.

Prianto menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak atau Ditjen Pajak sudah mengestimasikan tambahan potensi penerimaan dari penerapan pajak minimum global hanya mencapai Rp3 triliun hingga Rp8 triliun.

Estimasi penerimaan tersebut berdasarkan penerapan pungutan pajak dengan mekanisme DMTT (domestic minimum top-up tax) dan IIR (income inclusion rule) yang sudah berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 2025 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024.

Jika dibandingkan dengan target penerimaan pajak dalam APBN 2025 sebesar Rp2.490,91 triliun, maka potensi penerimaan tambahan dari pajak minimum global sebesar Rp8 triliun itu hanya sekitar 0,321%.

"Tidak banyak dampak perluasan basis pajak ke perusahaan multinasionalnya," ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (22/5/2025).

Meski pada tahun depan atau tepatnya 1 Januari 2026 berlaku penguatan pajak tambahan dengan mekanisme UTPR (undertaxed payment rule), Prianto menilai potensi tambahan penerimaan pajak juga tidak akan bertambah signifikan.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute ini pun meyakini bahwa tujuan utama penerapan pajak minimum global bukan untuk memperluas basis pajak secara signifikan.

Pemerintah, sambungnya, hanya tidak ingin kehilangan potensi pemajakan. Alasannya, dalam konvensi pajak minimum global, jika suatu negara tidak ikut ketentuan pajak minimum global, maka hak pemajakannya akan menjadi hak negara asal perusahaan multinasional itu.

"Daripada Indonesia enggak mendapatkan hak pemajakan, mendingan adopsi pajak minimum global meski enggak banyak potensinya," jelas Prianto.

Pajak minimum global sendiri merupakan konvensi multilateral Pilar 2 yang digagas Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20. Konvensi itu bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet global minimal 750 juta euro membayar pajak minimum sebesar 15%.

Berdasarkan PMK 136/2024, pajak minimum global diterapkan di Indonesia melalui tiga mekanisme utama, yaitu DMTT, IIR, dan UTPR. DMTT dan IIR sudah mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diadopsi pada 1 Januari 2026.

Ketika memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 di hadapan anggota DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerapan perjanjian perpajakan global tersebut menjadi peluang bagi perluasan basis pajak.

"Melalui pemajakan korporasi multinasional yang melakukan transaksi lintas negara," ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Selasa (20/5/2025).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper