Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Penambang Pasir Kuarsa (Hipki) mengungkap tantangan terbesar yang tengah dihadapi saat ini yakni permintaan atau daya serap komoditas yang masih minim di pasar domestik.
Padahal, pasir kuarsa atau silika telah ditetapkan sebagai salah satu dari 47 mineral kritis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2023 lalu. Bahkan, silika juga menjadi mineral strategis yang dimiliki Indonesia.
Ketua Umum Hipki Ady Indra Pawennari mengatakan faktanya hingga saat ini pengembangan ke hilir dari pasir silika masih tersendat sehingga penambang masih sepenuhnya mengekspor.
“Tantangan terbesarnya masih ketersediaan san daya serap. Pasar domestik pasir silika untuk diolah menjadi solar panel di dalam negeri masih sangat terbatas, bahkan mungkin belum ada,” kata Ady kepada Bisnis, Selasa (27/5/2025).
Mestinya, pemanfaatan pasir silika di dalam negeri dapat digunakan untuk industri kaca, industri semen, industri keramik, dan industri barang dari semen. Bahkan, silika juga menjadi bahan baku penting ntuk industri solar panel.
Namun, hingga saat ini Indonesia baru memiliki industri perakitan silicon wafers menjadi solar panel. Tapi yang mengolah pasir kuarsa menjadi silicon wafers kita belum punya.
“Industri pengolahan material dari pasir kuarsa menjadi ingots dan silicon wafers sebelum diproses menjadi solar panel belum ada di Indonesia. Maka sampai saat Hipki belum ada menerima permintaan dari industri dalam negeri,” ujarnya.
Di samping itu, dalam data Kementerian ESDM data sumber daya dan cadangan pasir kuarsa pada 2023 berada di 478 lokasi dengan total sumber daya sebanyak 13,47 miliar ton dengan total cadangan 3,40 miliar ton.
Kendati demikian, Kementerian Perindustrian per September 2023 mengklaim pemanfaatan pasir kuarsa di sisi industri hulu telah mencapai 65,32% yang menghasilkan tiga jenis produk utama yaitu pasir silika, tepung silika dan resin coated sand.
Adapun, kapasitas pengolahan tersendiri (tidak terintegrasi dengan tambang) sebesar 738.536 ton/tahun yang telah dipasang oleh 21 perusahaan di bawah binaan Kementerian Perindustrian.
Di samping itu, Hipki juga menyoroti masalah regulasi dan kebijakan. Untuk diketahui, perizinan pertambangan pasir kuarsa saat ini berada pada kewenangan gubernur, termasuk penentuan Harga Patokan Mineral (HPM) yang menjadi acuan untuk menghitung pajak daerah.
Sementara, besaran pajak daerah menjadi kewenangan kabupaten. Menurut Ady, regulasi yang ada saat ini seringkali diterjemahkan berbeda di setiap daerah, belum lagi terdapat ego sektoral dinas-dinas terkait, membuat tidak ada kepastian aturan yang bisa dijadikan acuan secara nasional.
“Akibatnya perizinan menjadi semakin rumit sehingga banyak perusahaan yang berhenti di tengah jalan. Bahkan, saat izinnya belum selesai berproses,” tambahnya.
Tak hanya itu, Ady juga menuturkan terdapat masalah mentalitas birokrasi yang sangat berorientasi jangka pendek. Di beberapa daerah, dia melihat HPM pasir kuarsa dan pajak daerah dipatok begitu tinggi, bahkan tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) disebutkan bahwa Dasar pengenaan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB yang dihitung perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan (HPM) tiap jenis MBLB pada mulut tambang.
Namun, ada provinsi yang menetapkan HPM bukan pada harga di mulut tambang, tapi di stockpile pelabuhan. Bahkan, di atas tongkang. Alhasil, pajak melambung tinggi yang membuat banyak proyek tambang pasir kuarsa menjadi tidak layak secara ekonomi.
“Akibatnya, daya tarik investasi menurun dan daya saing melemah. Tidak ada insentif sama sekali. Sementara, kalau kita berpikir industri dan jangka panjang, maka ekosistem investasi harus dibuat menarik dan kompetitif,” jelasnya.
Oleh karena itu, dari sisi hilir, pemerintah diminta harus mempercepat pengembangan indsutri solar panel dalam negeri, sebagai bagian dari ekosistem energi terbarukan (EBT). Dengan demikian pasar domestik menjadi terbuka.
“Kedua, sederhanakan regulasi/proses perizinan. Jangan sampai ada celah tumpang tindih yang dapat memicu ego sektoral sehingga tidak ada kepastian perizinan,” jelasnya.
Ketiga, dia juga meminta peninjauan kembali semua regulasi di daerah terkait pasir kuarsa dan cabut atau intervensi yang dianggap tidak ramah investasi dan tidak berorientasi jangka panjang.