Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor baja dan alumunium menjadi sebesar 50% memicu kekhawatiran terhadap kinerja industri di dalam negeri.
Trump telah menandatangani perintah untuk menaikkan tarif baja dan alumunium menjadi 50% dari yang awalnya 25% mulai 4 Juni 2025. Langkah ini sebagai tindak lanjut dari janji untuk meningkatkan pajak impor guna membantu produsen dalam negeri.
Trump menyatakan bahwa langkah tersebut, yang mulai berlaku pada Rabu (4/6/2025), diperlukan untuk melindungi keamanan nasional.
Perintah tersebut menyatakan bahwa tarif sebelumnya belum memungkinkan industri dalam negeri untuk mengembangkan dan mempertahankan tingkat utilisasi produksi kapasitas yang diperlukan untuk keberlanjutan industri dan kebutuhan pertahanan nasional.
"Menaikkan tarif yang diberlakukan sebelumnya akan memberikan dukungan yang lebih besar bagi industri-industri ini dan mengurangi atau menghilangkan ancaman keamanan nasional yang ditimbulkan oleh impor barang-barang baja dan aluminium serta barang-barang turunannya," demikian bunyi perintah tersebut dikutip dari Bloomberg.
Keputusan Trump ini memicu ketegangan di tengah negosiasi dagang dengan banyak negara mitra yang masih berlangsung menjelang diberlakukannya tarif resiprokal sebelum batas waktu 9 Juli.
Baca Juga
Lantas, bagaimana sebenarnya kinerja ekspor baja dan alumunium Indonesia ke Amerika Serikat?
Kinerja ekspor baja dan aluminium Indonesia ke Amerika Serikat berada pada tren positif, bahkan melonjak naik secara bulanan. Kendati, industri kini dihadapkan pada lonjakan tarif bea masuk ke AS yang dipatok 50% pada Juni 2025.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor aluminium (HS 76) mencapai US$10,53 juta pada April 2025 dengan total volume mencapai 2,47 juta kilogram (kg).
Secara tahunan, nilai ekspor tersebut meningkat kisaran 98% dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat senilai US$5,30 juta dengan volume mencapai 1,37 juta kg.
Sementara itu, secara bulanan nilai ekspor aluminium ke Amerika Serikat (AS) meningkat 3,79% dari sebelumnya sebesar US$10,14 juta pada Maret 2025 dengan volume 2,4 juta kg.
Jika dilihat kumulatif periode Januari-April 2025 untuk komoditas tersebut secara nilai tercatat mencapai US$40,66 juta dengan volume 9,76 juta kg. Realisasi tersebut meningkat 26,44% dibandingkan periode kumulatif tahun lalu.
Di sisi lain, secara bulanan, kinerja ekspor pada April 2025 mencapai US$32,24 juta dengan volume 26,73 juta kg atau meningkat dari bulan sebelumnya pada Maret 2025 yang mencapai US$18,93 juta dengan volume 10,6 juta kg. Sementara, secara tahunan nilai ekspor April tahun lalu sebesar US$44,89 juta dengan volume 58,68 juta kg.
Akan tetapi, jika dilihat kinerja ekspor baja (HS 72-73) pada Januari-April 2025 nilai ekspor ke AS mencapai US$134,65 juta dengan volume 131,48 kg atau turun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$186,98 juta dengan volume 238,20 juta kg.
Dari data tersebut ditunjukkan kenaikan ekspor secara bulanan sebelum Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk meningkatkan tarif bea masuk baja dan aluminium ke AS menjadi 50% dari sebelumnya 25%.
Perluasan Pasar Ekspor
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menilai kebijakan Trump menaikkan tarif bea masuk produk alumunium menjadi 50% tidak akan signifikan berdampak pada kinerja ekspor perusahaan.
Direktur Pengembangan Bisnis Inalum, Melati Sarnita mengatakan ekspor aluminium ke AS hanya sebesar 1.600 ton per tahun, dari total realisasi ekspor 75.000 ton pada tahun lalu.
“Jadi kita itu kalau dari Inalum yang direct ya, direct export itu cuma sekitar 1.600 ton jadi nggak terlalu signifikan ya,” kata Melati kepada wartawan, Rabu (4/6/2025).
Namun, dia tak memungkiri bahwa sejumlah customer Inalum banyak yang mengekspor ke Amerika hingga 30.000 ton per tahun. Kendati, pasar ke AS tetap dinilai tidak begitu besar dibandingkan ke negara-negara Asia Timur, seperti Korea dan Jepang, hingga Eropa termasuk Prancis dan Spanyol.
Untuk itu, pihaknya tak begitu mengkhawatirkan kebijakan tarif Trump. Bahkan, Inalum menargetkan peningkatan kinerja ekspor hingga ke angka 90.000 ton hingga akhir tahun ini.
“Tapi yang kita worry kan bukan terhadap Inalumnya ya, tapi shifting market-nya yang kita worry kan. Misalnya ada retaliation gitu kan, itu yang kita worry, itu bisa affecting perubahan secara global,” ujarnya.
Pengalihan pasar ekspor dari Amerika ke pasar umum akan membuat kompetisi makin ketat. Namun, hal ini dilihat sebagai peluang bagi Inalum. Pasalnya, produk-produk yang dihasilkan Inalum merupakan produk dengan rendah karbon yang pasarnya cukup identik.
“Requirement untuk yang green itu hal-hal yang orang lain gak bisa bersaing sama kita kan, karena kita punya spesifik keunikan dari produk. Jadi ya mungkin yang akan jadi bahan rebutan pasti yang general market,” tuturnya.
Dalam hal ini, Melati juga menerangkan bahwa Inalum akan berupaya mengalihkan fokus ekspor ke pasar potensial seperti Jepang dan Korea Selatan. Adapun, Inalum telah mengekspor 2.500 ton bulan lalu.
Senada, Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) juga menyatakan tarif tinggi impor baja dan aluminium yang diberlakukan AS, menjadi momentum untuk memperluas pasar ekspor, khususnya produk baja berkekuatan tinggi (high alloy steel).
"Kita harapkan sebetulnya yang produsen-produsen baja berkekuatan tinggi itu mungkin akan mencari pasar yang lebih kompetitif dibandingkan dia menjual ke Amerika Serikat," kata Ketua Umum Gamma Dadang Asikin ditemui usai pembukaan International Industrial Week (IIW) di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu (4/6/2025).
Untuk industri hilir logam, dirinya meyakini tarif baja yang diterapkan oleh Trump tidak terlalu memengaruhi kinerja manufaktur dalam negeri, tetapi untuk sisi hulu, tarif importasi baja dikhawatirkan memberikan dampak negatif.
"Saya yakin berpengaruh. Karena pasti dia akan mencari pasar lagi," ujarnya.
Guna memitigasi dampak negatif dari dinamika ekonomi global, termasuk perang dagang yang saat ini terjadi. Pihaknya mendorong pemerintah untuk memperkuat hilirisasi logam dasar.
Hal ini karena dengan memperkuat ekosistem hilirisasi sektor itu, secara langsung mendorong industri pengolahan baja berkekuatan tinggi tumbuh, yang sekaligus mengurangi volume impor dari negara lain.