Bisnis.com, JAKARTA - Kehadiran koperasi desa di tengah eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejatinya tidak akan menimbulkan konflik apabila ada mitigasi yang tepat dari pemerintah pusat dan pemerintah desa.
Justru sebaliknya, pengelolaan yang tepat antar-keduanya akan mampu menciptakan pengelolaan ekonomi desa yang maksimal. Koperasi, yang seharusnya menjadi model bisnis Koperasi Desa Merah Putih, memiliki dasar pijakan yang berbeda dengan BUMDes.
Koperasi memiliki prinsip demokrasi ekonomi yang membawa orientasi bisnisnya pada kepentingan anggotanya. Instrumen penegasnya adalah sisa hasil usaha yang dibagikan kepada para anggotanya setiap tahun. Di sisi lain, BUMDes adalah badan usaha milik desa yang dikelola oleh pemerintah desa.
Pada dasarnya bisnis BUMDes adalah bisnis yang harus menghasilkan keuntungan untuk disetorkan ke kas desa. Ujungnya kas desa akan dikelola guna kepentingan masyarakat desa secara keseluruhan. Perbedaan model bisnis ini memunculkan perbedaan mencolok siapa penerima manfaat antar-keduanya.
Bagi koperasi, penerima manfaat langsung adalah anggota koperasi dan penerima manfaat tidak langsung adalah masyarakat di sekitar koperasi. Sebagai contoh, koperasi usaha tani yang mewadahi para petani dalam menjalankan usaha pertaniannya seperti menyediakan alat dan mesin pertanian (alsintan), bisa menjual beras kepada warga desa dan desa sekitar yang profesinya bukan petani.
Penerima manfaat langsung atas keberadaan BUMDes bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, pegawai BUMDes dan masyarakat desa keseluruhan. Pegawai BUMDes menerima gaji atas kerja mere-ka dalam mengembangkan BUMDes.
Baca Juga
Masyarakat desa menerima manfaat atas keber-adaan BUMDes dari keuntung-an BUMDes yang disetorkan ke kas desa untuk kemudian digunakan sebagai keperluan pembangunan desa semisal perawatan jalan desa. Contoh sukses manfaat BUMDes adalah keberada-an BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok Klaten, Jawa Tengah.
BUMDes ini memiliki omzet Rp14 miliar per tahun (2024). Pegawai BUMDes dan masyarakat desa dapat langsung kecipratan manfaat.
Sejatinya, “konflik” antara koperasi dan BUMDes tidak terjadi baru-baru ini. Konflik sudah terjadi sejak satu dekade lalu ketika UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan. Sebelum BUMDes berdiri, sebagai amanat UU Desa, sudah banyak koperasi desa yang berdiri dengan segala statusnya mulai dari yang mati suri, hidup segan mati tidak mau, dan koperasi yang sukses.
Konflik tidak seheboh sekarang. Menurut hemat penulis, sumber daya atau potensi desa adalah alasan-nya. Koperasi dengan model bisnis yang menekankan keanggotaan tidak leluasa untuk menggarap potensi desa, terlebih jika pengurus koperasi tidak mendukung kepala desa petahana dalam pemilihan kepala desa.
Potensi penyebab konflik berikutnya adalah keluarnya Instruksi Presiden No. 9/2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Penulis mengidentifikasi setidaknya ada dua potensi sumber konflik yakni poin pada tujuan pembentukan Kopdes Merah Putih dan poin sumber pendanaan pembentukan Kopdes. Pembentukan Kopdes memiliki cakupan usaha yang luas.
Pelaksanaan kegiatan kopdes meliputi namun tidak terbatas kantor koperasi, pengadaan sembilan bahan pokok (sembako), simpan pinjam, klinik, apotek, cold storage/pergudangan, dan logistik. Meskipun ada frasa pertimbangan dengan memperhatikan karakteristik, potensi, dan lembaga ekonomi yang telah ada di desa/kelurahan, tidak menjamin ketiadaan konflik BUMDes dan Kopdes.
Potensi konflik berikutnya adalah sumber pendanaan. Pada poin instruksi kedelapan disebutkan bahwa pendanaan percepatan pembentukan Kopdes salah satunya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).
Jika tidak diperinci mekanismenya secara teperinci dan jelas, maka ini berpotensi menimbulkan konflik antara pengurus Bumdesa dan Kopdesa.
MITIGASI
Konflik bisa dimitigasi mengingat koperasi dan BUMDes memiliki model bisnis yang jauh sangat berbe-da. Koperasi berbasis anggota, BUMDes berbasis business as usual. Beberapa cara agar konflik bisa ditekan adalah pertama, dengan cara memetakan potensi desa dengan saksama, aturan yang jelas terutama di tingkat bawah dan pemahaman mendalam terkait perbedaan bisnis corekoperasi dan bumdesa kepa-da pengurus BUMDes dan pengurus koperasi.
Pemetaan potensi desa penting agar alokasi sum-ber daya antara koperasi dan bumdesa bisa optimal.
Misalnya di sebuah desa ada pasar milik desa yang dike-lola oleh BUMDes. Koperasi desa yang beranggotakan para petani bisa menjual komoditasnya di pasar desa tersebut. Contoh lain misalnya pembentukan koperasi desa yang fokus pada on farm, sedangkan BUMDes fokus pada off farm. Misal koperasi petani fokus pada budi daya hingga panen, sedangkan BUMDes bergerak di pascapanen atau sebaliknya.
Hal kedua yang perlu dilakukan adalah aturan main yang jelas dalam meman-faatkan potensi desa yang ada. Menurut hemat penulis, aturan semisal peraturan desa akan menjadi aturan yang efektif dalam memiti-gasi konflik. Hal disebabkan perdes dipastikan lebih bisa menangkap variasi ciri khas setiap desa. Aturan lebih tinggi hanya sebagai panduan.
Mitigasi ketiga adalah pemahaman konsep BUMDes dan Kopdes terhadap pemerintah desa, aparat desa, pengurus bumdesa dan pengurus koperasi desa. Pemahaman paling simpel yang perlu dijelaskan kepada mereka adalah perbadaan core bisnis kedua entitas ekonomi ini.Pointer mitigasi tersebut di atas akan berhasil meminimalisir konflik apabila pembentukan koperasi desa merah putih tetap mengikuti semangat UU Koperasi dan filosofi dasar koperasi itu sendiri, demokrasi ekonomi.