Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah belum lama ini merilis proyeksi terbaru mengenai pelebaran defisit anggaran untuk tahun 2025. Defisit diperkirakan akan mencapai sekitar Rp662 triliun, atau setara dengan 2,78% terhadap PDB pada akhir Desember 2025.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan estimasi sebelumnya yang memproyeksikan defisit hanya sebesar 2,53% terhadap PDB, atau sekitar Rp616 triliun.
Secara prinsip, pelebaran defisit merupakan instrumen umum dalam kebijakan fiskal ekspansif. Dalam kerangka teoritis, Keen (2001) menjelaskan bahwa defisit anggaran sejatinya dapat dimaknai sebagai bentuk penciptaan uang di masa depan, terutama ketika belanja diarahkan pada sektor-sektor yang mendukung pertumbuhan jangka panjang. Misalnya, jika dana defisit digunakan untuk membangun infrastruktur, maka manfaat ekonomi dari infrastruktur tersebut di masa depan bisa memperluas basis penerimaan pajak. Dengan kata lain, defisit hari ini bisa menjadi investasi bagi kapasitas fiskal esok hari.
Namun, kondisi Indonesia saat ini menyuguhkan dinamika yang sedikit berbeda. Pelebaran defisit bukan semata hasil dari pilihan strategi ekspansif, melainkan juga konsekuensi dari tekanan struktural pada sisi penerimaan dan meningkatnya kebutuhan belanja. Hingga semester I/2025, penerimaan negara tercatat mengalami kontraksi, dengan pertumbuhan jauh di bawah periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini sebagian besar berasal dari kinerja penerimaan pajak yang tercatat turun sebesar 19%.
Di sisi lain, belanja negara justru mengalami lonjakan. Diperkirakan hingga akhir tahun, total belanja akan mencapai Rp3.527 triliun. Meski pemerintah telah melakukan efisiensi anggaran di semester pertama, langkah tersebut mayoritas menyasar pos-pos non-prioritas yang sebenarnya sudah lama ditekan. Sejumlah kebijakan, seperti PMK No. 113/PMK.05/2012 dan Perpres No. 33 Tahun 2020, telah mendorong penurunan signifikan dalam belanja perjalanan dinas, dari 1,5% di tahun 2015 menjadi hanya 0,1% pada 2022 dan pemeliharaan aset dari 1,7% menjadi 0,1% di periode yang sama. Artinya, ruang efisiensi dari pos-pos tradisional kini makin terbatas.
Lebih dari itu, pemerintah juga memperkenalkan berbagai program baru dengan total anggaran mencapai Rp446 triliun. Dalam situasi ketika penerimaan negara melemah sementara kebutuhan belanja terus meningkat, tanpa adanya penyesuaian pada pos-pos program baru, pelebaran defisit menjadi langkah yang nyaris tak terhindarkan. Kombinasi tekanan di sisi penerimaan dan dorongan dari sisi belanja menciptakan kompleksitas tersendiri dalam pengelolaan APBN tahun ini, yang jauh lebih menantang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Baca Juga
LANGKAH TAKTIS
Dalam menghadapi proyeksi pelebaran defisit yang makin besar, pemerintah perlu menempuh langkah strategis guna memastikan bahwa kebijakan ini berdampak positif, bukan justru menimbulkan risiko baru. Pertama, pemerintah perlu memperbaiki kualitas belanja negara. Hingga pertengahan tahun, realisasi belanja masih relatif rendah, hanya sekitar 39% dari total pagu. Yang mengkhawatirkan, realisasi pada pos-pos penting seperti belanja modal dan bantuan sosial, yang memiliki efek multiplier tinggi, masih di bawah harapan, masing-masing baru mencapai 23% dan 32% dari total pagu anggaran kedua pos belanja tersebut.
Kedua, pemerintah harus mencegah terjadinya shortfall pajak yang lebih dalam. Salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan adalah penerapan windfall tax terhadap sektor-sektor yang meraup keuntungan besar dari lonjakan harga komoditas global, seperti pertambangan, energi, dan kelapa sawit. Dalam kondisi ketimpangan fiskal saat ini, kebijakan ini tidak hanya sah secara moral dan ekonomis, tetapi juga dapat memberikan tambahan penerimaan negara tanpa membebani sektor usaha yang sedang lesu.
Ketiga, pemerintah dapat membuka ruang realokasi dari program-program prioritas yang belum mendesak untuk dilaksanakan dalam jangka pendek. Realokasi anggaran bisa menjadi instrumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan memperkuat fondasi pemulihan. Sebagai contoh, jika dana sebesar Rp50 triliun dapat dialihkan, maka potensi pemanfaatannya untuk stimulus sosial sangat besar.
Dana hasil realokasi tersebut, misalnya, dapat dimanfaatkan untuk memperkuat berbagai program perlindungan sosial yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Pemerintah dapat memperpanjang program Bantuan Sosial berupa Kartu Sembako dan bantuan beras selama dua bulan tambahan, dengan anggaran sekitar Rp11,96 triliun. Bantuan senilai Rp200.000 per bulan ini akan menjangkau 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM), dan sangat penting dalam menjaga daya beli kelompok rentan di tengah pelemahan konsumsi rumah tangga.
Di saat yang sama, perluasan cakupan Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga menjadi opsi strategis. Dengan alokasi anggaran sebesar Rp18 triliun, bantuan ini dapat menjangkau hingga 30 juta pekerja selama dua bulan, terutama mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah. Cakupan ini setara dengan sekitar 31% dari total calon penerima BSU, yakni kelompok pekerja dengan gaji hingga Rp3,5 juta per bulan yang diperkirakan berjumlah sekitar 95 juta orang. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan skenario sebelumnya yang hanya mencakup 19% dari total populasi tersebut.
Tak kalah penting, pemerintah juga dapat melanjutkan pemberian diskon tarif listrik secara penuh selama dua bulan ke depan, dengan alokasi anggaran sekitar Rp13,6 triliun. Kebijakan ini akan menjangkau 35,5 juta pelanggan rumah tangga, memberikan pengurangan beban pengeluaran yang signifikan, mengingat biaya listrik merupakan salah satu komponen konsumsi terbesar bagi keluarga berpendapatan rendah.
Pada akhirnya, pelebaran defisit anggaran 2025 bukan sekadar angka statistik dalam laporan fiskal. Ia adalah cerminan dari keputusan-keputusan kebijakan yang akan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Keberhasilan pemerintah dalam memperbaiki kualitas belanja, mengamankan penerimaan secara adil, dan melakukan realokasi secara tepat akan menjadi penentu apakah defisit ini bisa menjadi katalis pemulihan ekonomi yang berkelanjutan atau justru menambah beban fiskal tanpa manfaat yang setimpal.