Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Dwi Purwanto

Governance Analyst di Pratama- Kreston Tax Research Institute (TRI)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Rangkap Jabatan dan Krisis Etika di BUMN

Rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN menimbulkan konflik kepentingan dan krisis etika, melanggar prinsip Good Corporate Governance.
ilustrasi 2 kursi/indiamrt
ilustrasi 2 kursi/indiamrt

Bisnis.com, JAKARTA - Belum genap setahun menjabat, pe­­­merintahan Pre­­­siden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, perhatian tertuju pada temuan bahwa 30 dari total 55 wakil men­­­teri merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Praktik rangkap jabatan ini menegaskan bahwa pemerintah masih mengabaikan situasi konflik kepentingan.

Selain itu, kondisi ini tidak hanya bersinggungan dengan permasalahan etika, tetapi juga bertolak belakang dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). BUMN menuntut profesionalisme dan dedikasi para pengelolanya, termasuk instrumen pengawas. Ketika pengawasan dilakukan oleh pejabat yang merangkap jabatan, maka efektivitas dan independensi fungsi tersebut patut dipertanyakan.

Fenomena rangkap jabatan sebenarnya bukanlah hal baru di BUMN. Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2023 mencatat dari 263 komisaris dan dewan pengawas BUMN, sebanyak 53,9% terindikasi merangkap jabatan. Beberapa bahkan memegang lebih dari dua posisi. Termasuk di dalamnya, empat wakil menteri yang menjabat sebagai komisaris di perusahaan pelat merah.

Padahal, sejumlah regulasi telah secara tegas melarang praktik tersebut. UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha. Ketentuan serupa juga tertuang dalam Pasal 27B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang diperkuat dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta.

Ironisnya, celah justru dibuka melalui Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 yang memperbolehkan rangkap jabatan selama kehadiran dalam rapat dewan komisaris mencapai 75%. Ketentuan ini bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan yang derajat hierarkinya lebih rendah, maka harus mengacu pada aturan hukum di atasnya. Alih-alih memperkuat GCG, regulasi ini justru memberi pembenaran terhadap pelanggaran etik.

Dampak rangkap jabatan pun tidak dapat dipandang remeh. Salah satu risiko utamanya adalah konflik kepentingan. Seorang wakil menteri bertugas sebagai regulator, tetapi saat menjabat sebagai komisaris, ia juga mengawasi perusahaan yang berorientasi pada laba. Dua peran ini berisiko mengganggu objektivitas pengambilan keputusan, serta membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Lebih dari itu, praktik ini melanggar prinsip GCG, khususnya prinsip independensi. Komisaris idealnya menjalankan pengawasan secara profesional tanpa konflik kepentingan dan bebas dari pengaruh pihak mana pun. Jika posisi tersebut diisi oleh wakil menteri, independensi yang menjadi fondasi pengawasan akan terkikis.

Rangkap jabatan juga menimbulkan diskriminatif antarbirokrat. Wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris memperoleh dua sumber pendapatan, yaitu dari BUMN dan dan dari instansi negara tempat ia berasal. Situasi ini menimbulkan kecemburuan sosial, mencederai rasa keadilan, dan bertentangan dengan semangat meritokrasi.

Dari aspek kinerja, jabatan wakil menteri sendiri sudah menuntut penanganan khusus. Sementara itu, posisi komisaris memerlukan keterlibatan aktif dalam merumuskan strategi dan mengevaluasi kinerja perusahaan. Ketidakseimbangan ini dapat melemahkan pengawasan dan berdampak pada kualitas penerapan GCG di BUMN.

Lebih jauh lagi, rangkap jabatan juga berdampak pada lemahnya pengawasan di BUMN. Data ICW menunjukkan, sepanjang 2016—2023, terjadi 212 kasus korupsi di BUMN dengan kerugian negara mencapai Rp64 triliun. Sebanyak 349 pejabat BUMN ditetapkan sebagai tersangka, termasuk 84 direktur, 124 manajer, dan 129 staf. Meskipun banyak faktor yang melatarbelakanginya, tetapi pengawasan komisaris mestinya bisa meminimalisir praktik korupsi di BUMN.

Oleh karena itu, kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik rangkap jabatan dan memperkuat etika jabatan dalam pengelolaan BUMN. Setidaknya, ada tiga langkah yang perlu segera diambil.

Pertama, kompleksitas dan tumpang tindih aturan mengenai rangkap jabatan, perlu segera diharmonisasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden sebagai acuan tunggal yang mengatur praktik rangkap jabatan. Kedua, proses rekrutmen komisaris di BUMN harus dilakukan secara transparan, berbasis kompetensi, dan bebas dari kepentingan politik.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi perlu menegaskan kembali larangan bagi menteri dan wakil menteri merangkap sebagai komisaris di BUMN. Penegasan tersebut sebaiknya dituangkan secara eksplisit dalam revisi Undang-Undang Kementerian Negara, khususnya pada Pasal 23 UU No. 39/2008.

Melalui tiga langkah strategis tersebut, diharapkan praktik rangkap jabatan tidak lagi dianggap lumrah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, rangkap jabatan tidak hanya mengancam integritas, tetapi juga bertentangan dengan prinsip GCG. Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas sebelum kepercayaan publik benar-benar goyah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Purwanto
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro