Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan pemulihan indeks produktivitas manufaktur yang terkontraksi empat bulan terakhir baru akan berangsur pulih pada akhir tahun.
Dalam laporan S&P Global Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di level 49,2 pada Juli 2025 atau di bawah ambang batas 50. Dalam laporan tersebut menunjukkan tren kontraksi ini berlanjut sejak April 2025 lalu yang anjlok ke angka 46,7.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan pemulihan manufaktur bisa terjadi jika stabilitas makroekonomi terjaga dan stimulus fiskal berjalan efektif, maka PMI dapat mulai bergerak ke zona ekspansi pada akhir 2025.
“Dengan catatan tidak ada guncangan eksternal baru seperti eskalasi geopolitik atau kebijakan proteksionis yang ekstrem,” kata Saleh kepada Bisnis, Selasa (5/8/2025).
Kendati demikian, Saleh menerangkan bahwa produktivitas manufaktur akan kembali pulih akhir tahun ini jika permintaan global mulai meningkat.
Adapun, perbaikan permintaan global diproyeksikan akan mulai terjadi secara bertahap pada kuartal IV/2025 atau awal 2026, seiring mulai pulihnya aktivitas di negara-negara maju dan adanya relaksasi kebijakan moneter global.
Baca Juga
“Kedua, kebijakan domestik yang pro-industri, termasuk percepatan belanja pemerintah, penyesuaian insentif fiskal, dan reformasi perizinan teknis, akan menjadi katalis positif,” ujarnya.
Adapun, kontraksi PMI manufaktur yang terjadi selama empat bulan terakhir, menurut Saleh hal tersebut mencerminkan adanya tekanan berlapis yang dihadapi industri.
Beberapa faktor utama penyebabnya antara lain permintaan global yang melambat, terutama dari mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Eropa, yang berdampak pada penurunan pesanan ekspor.
Tak hanya itu, kenaikan biaya produksi, baik karena fluktuasi harga energi maupun pelemahan rupiah yang menekan margin produsen dalam negeri sehingga kinerja menurun.
Di sisi lain, dia juga menyoroti ketidakpastian regulasi dan insentif, khususnya dalam pengadaan pemerintah dan kebijakan local content (TKDN), yang membuat pelaku usaha cenderung wait and see sebelum melakukan ekspansi.
“Keterbatasan akses pembiayaan bagi sektor industri kecil dan menengah juga turut menahan perluasan kapasitas produksi,” pungkasnya.