Bisnis.com, JAKARTA -- Momentum pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal perlu dilanjutkan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang sedang menghadapi tantangan, salah satunya penerapan tarif timbal balik sebesar 19% dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Chief Indonesia and India Economist, HSBC Global Research, Prajul Bhandari menuturkan bahwa pasca pandemi, pemerintah Indonesia dan otoritas moneter cenderung konservatif. Mereka menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang sangat ketat. Hal itu mengakibatkan proses pemulihan ekonomi pasca pandemi berjalan lambat.
"Kita telah mengalami situasi kebijakan fiskal yang ketat, kebijakan moneter yang ketat selama beberapa tahun setelah pandemi dan untuk beberapa alasan yang bagus, seperti sulit bagi Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga," kata Prajul dalam siaran resminya, Jumat (8/8/2025).
Prajul mengakui bahwa Bank Indonesia telah melakukan penurunan suku bunga bahkan mencapai 100 basis poin dalam beberapa bulan terakhir. Pelonggaran kebijakan itu menurutnya, mampu meredam lonjakan inflasi dan berhasil menstabilkan nilai tukar rupiah.
Kendati demikian, dia melihat bahwa BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga hingga 75 basis poin lagi. Menurutnya keberlanjutan pelonggaran kebijakan moneter akan memiliki efek yang positif bagi perekonomian.
"Ketika BI memangkas suku bunga acuan, dampaknya akan terpancar ke sejumlah suku bunga lain, misalnya, suku bunga kredit, suku bunga deposito. Hal ini tidak terjadi secara langsung, tetapi terjadi dengan jeda 2 hingga 3 kuartal. Dan setelah itu, permintaan kredit mungkin mulai meningkat, PDB juga mulai
meningkat."
Baca Juga
Sementara terkait kebijakan fiskal, Prajul menekankan bahwa pemerintah telah melonggarkan kebijakan fiskal tahun ini. Defisit APBN telah meningkat dari 1,6% terhadap PDB menjadi 2,8%, yang menurutnya merupakan pelonggaran substansial dalam waktu 2 tahun belakangan.
"Jadi, jika anda mengalami kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dilonggarkan pada tahun 2025, apakah kita sudah mulai melihat dampak pertumbuhannya? Dan jawaban saya adalah ya."
Kinerja Ekonomi Kuartal II/2025
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua atau kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Moh. Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, menjelaskan bahwa produk domestik bruto atau PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal II/2025 mencapai Rp5.947 triliun. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.396,3 triliun.
"Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan 2/2024 atau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%," ujar Moh. Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Pertumbuhan ekonomi ini berada di atas proyeksi analis sebelumnya. Berdasarkan proyeksi dari 30 ekonom maupun lembaga yang dihimpun Bloomberg, median atau nilai tengah pertumbuhan PDB pada tiga bulan kedua 2025 adalah 4,8% (YoY). Estimasi tertinggi yakni pertumbuhan hingga 5% sedangkan terendah 4,6%.
Proyeksi pertumbuhan tertinggi yakni 5% diramalkan oleh Gareth Leather dari Capital Economics, Ltd. dan Enrico Tanuwidjaja dari PT Bank UOB Indonesia.
Sementara itu, terendah diramalkan oleh Moody's Analytics Singapore, Jeemin Bang, serta Fakhrul Fulvian dari Trimegah Securities juga memproyeksikan pertumbuhan hanya 4,65%.
Adapun Office of Chief of Economist Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 4,79% YoY atau sedikit lebih rendah dari kuartal sebelumnya yaitu 4,87% YoY.
Sementara itu, pertumbuhan diperkirakan sebesar 3,71% secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) pada kuartal II/2025 sehingga bangkit dari kontraksi -0,98% QoQ pada kuartal I/2025.
Andry menyebut pertumbuhan yang lebih rendah secara tahunan pada kuartal II/2025 dipicu oleh di antaranya konsumsi rumah tangga karena faktor musiman dan perilaku belanja yang selektif. Kendati demikian, bantuan sosial (bansos) pemerintah yang ditingkatkan bisa membantu perlambatan konsumsi masyarakat.
Sementara itu, aktivitas investasi atau PMTB diperkirakan tumbuh sederhana. Itu terlihat dari penjualan semen dan turunnya penyaluran dana pinjaman yang produktif.
"Hal ini menunjukkan laju pembentukan modal yang lebih terukur karena pendekatan wait and see dari sektor usaha," ungkap Andry melalui keterangan tertulis, Senin (4/8/2025).