Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pukulan Bertubi Pelaku UMKM: Kredit Sulit, Impor Menghimpit

Pelaku UMKM di Indonesia menghadapi tantangan besar dengan sulitnya akses kredit dan persaingan produk impor.
Pekerja pembuat miniatur gitar di Ngawen, Klaten sedang menata produk untuk difoto, Jawa Tengah, Kamis (3/7/2025). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pekerja pembuat miniatur gitar di Ngawen, Klaten sedang menata produk untuk difoto, Jawa Tengah, Kamis (3/7/2025). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Pukulan bertubi mendera pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanah Air. Kesulitan mengakses pembiayaan seperti kredit perbankan hingga membeludaknya produk impor menjadi aral keberlanjutan usaha wong cilik ini.

Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri) menyampaikan bahwa kondisi pasar saat ini tidak menguntungkan bagi UMKM, tecermin dari pendapatan yang disebut terus menurun. Hal ini terjadi utamanya pada skala usaha mikro.

Ketua Umum Akumandiri Hermawati Setyorinny juga menyebut segmen UMKM belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19, yang berdampak terhadap penilaian kredit dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau dahulu dikenal sebagai BI Checking.

“Kalau masalah kredit sudah sulit karena posisi yang terdampak Covid-19, ekonomi global, sehingga BI Checking-nya saja sudah tidak masuk. Ditambah dia harus lolos SIKP [Sistem Informasi Kredit Program],” katanya kepada Bisnis melalui sambungan telepon, dikutip pada Sabtu (23/8/2025).

Hermawati kemudian menyampaikan bahwa perbankan saat ini cenderung lebih ketat dalam menyalurkan pembiayaan kepada segmen UMKM. Hal ini dinilai tidak terlepas dari menurunnya kemampuan membayar pelaku usaha karena pendapatan yang juga merosot.

Dampaknya, pelaku UMKM cenderung melirik layanan keuangan non-bank seperti pinjaman daring (pindar) atau perusahaan pembiayaan yang menawarkan pencairan dana lebih cepat dan prosedur yang relatif lebih mudah.

Menurut dia, hal ini menjadi daya tawar terkhusus bagi skala usaha mikro agar usahanya dapat tetap berjalan, meskipun harus menghadapi tingkat bunga lebih tinggi yang dipatok pindar.

“Apa yang dia punya, itulah yang diputar. Jadi mereka [pelaku UMKM] seandainya mereka meminjam itu mencari yang mudah dan cepat,” tuturnya.

Hermawati lantas menjelaskan bahwa pelaku UMKM lokal banyak bersaing dengan produk impor yang mencakup seluruh jenis barang, terutama di pelbagai platform lokapasar alias e-commerce.

Selain itu, usahawan kecil disebutnya harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengurus berbagai sertifikasi usaha, seperti sertifikasi halal hingga izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk produk makanan dan minuman.

Menurutnya, hal ini terjadi di tengah pendampingan dan pembinaan pemerintah untuk UMKM yang dinilai minim. Di samping aspek akses permodalan, Hermawati pun mendorong agar pemangku kepentingan terkait dapat mengeluarkan regulasi yang mengurangi persaingan tidak sehat dan menyederhanakan prosedur administratif.

“Pemerintah juga bisa turun tangan, misalnya pasarnya diperluas, atau ongkos produksinya bisa dipangkas supaya UMKM bisa bersaing dengan produk luar yang masuk ke Indonesia,” pungkasnya.

Langkah Pemerintah

Di sisi lain, pemerintah tengah mengupayakan integrasi layanan dan data tunggal pelaku UMKM di Indonesia. Transformasi UMKM dari sektor informal menuju formal juga didorong.

Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengungkpakan bahwa aplikasi data terintegrasi pelaku UMKM nasional yakni Sapa UMKM akan diluncurkan sekitar dua bulan ke depan atau pada Oktober 2025, yang mencakup kurang lebih 57 juta pelaku usaha.

"Kemungkinan paling lambat, sekitar dua bulan ke depan, Kementerian UMKM akan melakukan launching sistem terintegrasi yang kita sebut Sapa UMKM," kata Maman dalam sambutan Pesta Rakyat untuk Indonesia 2025 di Gedung Smesco, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025). 

Maman memerinci bahwa aplikasi tersebut akan membantu usahawan dalam memverifikasi data usaha, mengurus sertifikasi usaha, hingga mempermudah akses permodalan.

Aplikasi tersebut diharapkan dapat mengintegrasikan fitur untuk pembiayaan dari bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR), perusahaan teknologi finansial (fintech) maupun investor. Akan tetapi, integrasi pembiayaan tersebut baru akan diwujudkan dalam waktu yang akan datang, atau setelah versi pertama diluncurkan.

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian UMKM Riza Damanik menjelaskan bahwa transformasi UMKM dari sektor informal ke formal diawali dengan pendataan UMKM dalam data tunggal.

Selain itu, pihaknya menyebut bakal memposisikan UMKM sebagai rantai pasok usaha yang lebih besar. Dia mencontohkan klasterisasi UMKM di Jepang, yang mana pelaku UMKM menyokong fokus terhadap industri otomotif melalui klaster usaha suku cadang dan industri elektronik melalui klaster usaha komponen terkait.

“Di saat yang sama kami sedang memperkuat, melakukan pendampingan, kurasi, dan fasilitasi dengan harapan bahwa satu, terjadi transformasi informal ke formal. Kedua, semakin kuat kemitraan rantai pasok kita, sehingga kualitas ekonomi ke depan semakin baik lagi,” jelasnya dalam forum yang sama.

Kredit UMKM Masih Lesu

Adapun, memasuki paruh kedua 2025, pertumbuhan kredit UMKM cenderung menurun sejak awal tahun. Data Analisis Uang Beredar Bank Indonesia (BI) Juli 2025 menunjukkan kredit UMKM tumbuh 1,6% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp1.397,4 triliun pada bulan ketujuh tahun ini.

Laju pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2%, dan menurun dibandingkan posisi Januari 2025 yang masih tumbuh 2,5% YoY.

Kredit skala usaha mikro terkontraksi lebih dalam menjadi minus 3,1% YoY per Juli 2025, dibandingkan minus 2,5% YoY pada bulan sebelumnya. Kredit skala usaha menengah juga masih terkontraksi 0,5%, sedangkan pertumbuhan kredit skala usaha kecil juga menurun dari 10,5% YoY ke level 9,9% YoY.

Melambatnya kredit UMKM ini sejalan dengan tren penyaluran kredit secara industri. Data yang sama mencatat kredit perbankan hanya tumbuh 6,6% YoY menjadi Rp7.933,6 triliun per Juli 2025, kian melambat dari pertumbuhan 7,6% pada Juni.

Seiring tren ini, OJK pun memperkirakan kredit industri perbankan hanya akan tumbuh 8,9% hingga penghujung tahun ini, lebih rendah dari proyeksi awal yang berada di atas 10%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro