Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengungkapkan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPNDTP) sektor properti menjadi yang paling dicari masyarakat sehingga diperpanjang untuk 2025.
Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso menjelaskan setidaknya ada dua alasan pemerintah memperpanjang insentif diskon pajak sektor properti tersebut.
Pertama, kontribusi sektor properti terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) sangat besar. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik, industri konstruksi mendistribusikan 10,06% terhadap PDB sementara industri real estat mendistribusikan 2,32% terhadap PDB pada Kuartal III/2024.
Kedua, industri-industri pendukung itu juga akan ikut menikmati efek pengganda dari insentif PPN DTP sektor properti. Akibatnya, terjadi penyerapan tenaga kerja dan konsumsi rumah tangga meningkat.
"Sehingga kita selalu menyampaikan untuk [PPN DTP] sektor properti kita evaluasi, masih tinggi, ya harus kita berikan lagi," jelas Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2024).
Dari data Kemenko Perekonomian, sambungnya, realisasi insentif fiskal sektor properti menjadi yang paling diminati masyarakat. Dia mencontohkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak 168.000 unit pada tahun ini sudah habis pada Oktober.
Baca Juga
Akibatnya, pemerintah memutuskan untuk menambah kuota FLPP menjadi 200.000 unit. Pada awal November, kuota FLPP tersisa 22.000 unit lagi.
"Jadi, efektivitas properti kalau dilihat dari realisasi memang paling bagus dari sektor lain," ujar Susi.
Sementara itu, dalam Laporan Belanja Perpajakan 2023 yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, kebijakan PPN DTP sektor perumahan hendaknya diberikan secara temporer, kondisional, berjangka pendek, dan hanya pada saat tertentu saja. Dia mencontohkan, seperti pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.
Laporan tersebut menyebutkan kebijakan PPN DTP sektor properti akan memberikan dampak positif ke perekonomian apabila diberlakukan dalam jangka waktu pendek seperti satu sampai dengan dua tahun.
"Tetapi dalam waktu lama, 2 tahun atau lebih, dampak tersebut justru akan berdampak sebaliknya," tulis Laporan Belanja Perpajakan 2023, dikutip Selasa (17/12/2024).