Bisnis.com, JAKARTA — Kini ada dua tarif dasar pengenaan pajak pertambahan nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024. Kalangan pengusaha pun mengakui harus melakukan penyesuaian ke sistem karena adanya pembedaan tarif tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan tetap sebesar 12% untuk semua barang/jasa. Hanya saja, tarif dasar pengenaan pajak (DPP) ada dua.
Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), dijelaskan pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor sebesar 12/12 dari harga jual/nilai impor.
Sementara itu, Pasal 3 ayat (2) dan (3) menegaskan pengenaan PPN untuk barang/jasa lain/yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual/nilai/penggantian.
Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:
a. 12% x DPP = 12% x (12%/12% x nilai transaksi);
b. 12% x DPP = 12% x (11%/12% x nilai transaksi).
Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:
a. 12% x DPP = 12% x (12%/12% x Rp1.000.000) = Rp120.000;
b. 12% x DPP = 12% x (11%/12% x Rp1.000.000) = Rp110.000.
Perhitungan butir a berlaku untuk barang yang tergolong mewah seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2. Sementara itu, perhitungan butir b berlaku untuk barang/jasa lain atau yang tidak tergolong mewah seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama menjelaskan skema dua tarif DPP tersebut membuat para pelaku usaha harus melakukan penyesuaian.
"Ya tentu ada perbedaan ya, sistem harus di-setting [diatur]," ujar Siddhi kepada Bisnis, Rabu (1/12/2024).
Kendati demikian, dia mengapresiasi pemerintah yang mendengar aspirasi masyarakat dan kalangan pengusaha. Meski sedikit menyusahkan pelaku usaha, Siddhi meyakini pembagian dua tarif DPP tersebut merupakan konsekuensi yang harus diterima.
"Menurut pandangan kami hal tersebut merupakan jalan tengah yang diambil pemerintah dalam rangka tetap memperhatikan aspirasi masyarakat dan memenuhi ketentuan dalam UU HPP bahwa tarif PPN 12%," katanya.
Sementara itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyayangkan pemerintah mengumumkan pembatalan pemberlakuan PPN 12% secara umum pada detik-detik terakhir.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% mulai berlaku pada hari ini, Rabu (1/1/2025). Hanya saja, pemerintah mengumumkan tarif PPN 12% hanya akan dikenai untuk barang mewah pada Selasa (31/12/2024) sore.
Apalagi, sambung Fajry, pada akhirnya pemerintahan membedakan tarif PPN untuk barang dan non-mewah melalui skema DPP.
"Pastinya akan lebih sulit baik itu bagi DJP [Direktorat Jenderal Pajak] maupun WP [wajib pajak]," ucapnya kepada Bisnis, Rabu (1/12/2024).
Fajry pun tidak heran apabila harga-harga barang/saja terlanjur naik karena sudah diatur berdasarkan tarif PPN 12%. Terlebih, pengumuman dilakukan ketika menjelang libur tahun baru sehingga secara teknis pelaku usaha maupun pemerintah juga akan kewalahan. "Coba belanja di e-commerce, tarif PPN yang berlaku masih 12%," ungkap Fajry.
Di samping itu, dia mengapresiasi pemerintah yang telah mendengar desakan masyarakat. Fajry meminta agar ke depan pemerintah mengutamakan penerbitan aturan teknis terlebih dahulu sebelum mengumumkan kebijakan penting seperti PPN tersebut agar tidak menyulitkan banyak pihak.