Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PGN Pakai LNG untuk Tambal Defisit Gas Pipa, Harga Gas Dipatok US$16,77 per MMBtu

PGN mematok harga produk gas hasil regasifikasi LNG untuk pelanggan komersial dan industri awal tahun ini sebesar US$16,77 per MMBtu.
Ilustrasi infrastruktur pipa gas PGN/Dok. PGN
Ilustrasi infrastruktur pipa gas PGN/Dok. PGN

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan industri resah dengan penerapan harga gas regasifikasi liquefied natural gas (LNG) terbaru oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk atau PGN pada saat kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) berakhir 31 Desember 2024. 

Berdasarkan surat edaran PGN tertanggal 27 Desember 2024 yang diterima Bisnis, PGN mematok harga produk gas hasil regasifikasi LNG untuk pelanggan komersial dan industri awal tahun ini sebesar US$16,77 per MMBtu.

Adapun, perhitungan harga gas regasifikasi tersebut berdasarkan rata-rata harga minyak mentah utama Indonesia (ICP) pada periode September-November 2024. Harga yang tertera itu pun belum termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).

Harga gas regasifikasi LNG ini akan berlaku selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025-31 Maret 2025. Setelah periode tersebut, harga gas akan diperhitungkan dengan formula harga gas regasifikasi dan ketentuan yang berlaku.

Untuk diketahui, PGN tengah berupaya mencari sumber pasokan gas pipa baru dan menyiapkan alternatif pasokan gas hasil regasifikasi LNG untuk mendukung pemenuhan pasokan gas sebagai energi untuk industri nasional. 

Corporate Secretary PGN Fajriyah Usman mengatakan, saat ini terdapat tantangan ketersediaan pasokan gas pipa di wilayah strategis seperti Sumatra bagian tengah, Sumatra bagian selatan, Lampung, dan Jawa bagian barat. Namun, PGN masih berupaya menjaga keberlanjutan energi nasional dengan menyeimbangkan kebutuhan dan ketersediaan gas bumi. 

"Di tengah penurunan pasokan gas pipa dari sejumlah sumber utama, gas regasifikasi menjadi solusi alternatif yang efektif untuk memastikan pelanggan tetap mendapatkan pasokan energi yang dibutuhkan,” kata Fajriyah melalui keterangan resminya, Senin (6/1/2025). 

Adapun, sumber pasokan gas pipa baru dan pasokan gas hasil regasifikasi LNG didapatkan dari dalam negeri seperti dari Tangguh, Bontang dan Donggi Senoro. 

Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, penerapan harga gas regasifikasi juga sempat diberlakukan sejak Mei 2024 dengan harga US$13 per MMbtu.

Sementara itu, dia juga menerangkan harga gas regasifikasi tersebut juga masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga komersial via pipa seharga US$9,16 per MMbtu. Apalagi, jika dibandingkan dengan kebijakan HGBT yang dipatok US$6 per MMbtu.

"Tetapi volume ini [gas pipa] sangat kecil dan sangat jarang, dan praktis berhenti Mei 2024," tutur Yustinus kepada Bisnis, Senin (6/1/2025).

Lebih lanjut, Yustinus tetap berharap agar pemerintah dapat terus melanjutkan program HGBT untuk pengembangan industri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2025 hingga 8% pada 2027.

"Sangat diharapkan pemerintah dengan tegas dan cepat menyampaikan kelanjutan HGBT US$6 per MMbtu at plant gate," tegasnya

Dia menegaskan, apabila kepastian kelanjutan HGBT molor maka industri akan kehilangan momentum untuk segera revitalisasi dan akan membutuhkan waktu lebih lama agar operasional kembali optimal.

"Bila HGBT sebagai energi penggerak industri yang merupakan fondasi ekonomi semakin molor. Tegas dan cepat adalah keniscayaan, Pemerintah RI lambat maka RI akan tertinggal dalam kompetisi global yang semakin cepat berubah," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengaku dikejutkan dengan penerapan harga gas regasifikasi PGN. Menurutnya, harga tersebut sangat memberatkan, bahkan merugikan industri keramik nasional dengan harga US$16,77 per MMBtu dan ini merupakan harga gas termahal di kawasan Asia Tenggara.

"Ini berarti setiap pemakaian gas di atas AGIT [alokasi gas untuk industri tertentu] dipaksa harus membayar lebih mahal sekitar 2,5 lipat dari HGBT US$6,5 per MMbtu," imbuhnya. 

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa pemerintah masih menghitung pasokan gas sebelum memutuskan untuk melanjutkan kebijakan HGBT.

Dadan menuturkan, seiring telah berakhirnya HGBT pada 31 Desember 2024, harga gas industri saat ini memang mengikuti harga komersial. Namun, bila nantinya pemerintah memutuskan HGBT berlanjut, kebijakan harga gas murah industri itu akan berlaku surut dari 1 Januari 2025.

"Jadi nanti kalau sekarang kan, belum ada aturannya untuk yang itu. Ya sekarang berjalan yang harganya komersial. Tapi nanti kalau diputuskan, kalau diputuskan itu berlakunya dari 1 Januari," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper