Pantau Kondisi Ekonomi saat Terapkan Cukai Minuman Manis
Akbar menyampaikan meski rencananya semester II/2025, pemerintah akan tetap melihat kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat sebelum menerapkan cukai MBDK.
"Sambil menunggu tadi, apakah memang dari sisi kondisi daya beli masyarakat ini sudah cukup bisa atau mampu untuk ada penambahan beban," tuturnya.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Cita melihat implementasi cukai MDBK idealnya dilaksanakan ketika ekonomi mengalami ekspansi.
Sementara melihat tiga kuartal pertama pada 2024, pertumbuhan ekonomi justru mengalami perlambatan. Proyeksi pertumbuhan secara keseluruhan tahun pun berada di angka 5%, turun dari target awal APBN 2024 sebesar 5,2%.
Sejumlah lembaga internasional pun memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2025 akan stagnan atau bertahan di angka 5%.
Bila mana kondisi ekonomi tak kunjung membaik, bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali menunda implementasi cukai MBDK yang ditargetkan dapat menarik tambahan kas negara senilai Rp3,8 triliun.
"Untuk ekonomi, tahun ini masih dibayangi ketidakpastian dan pelemahan daya beli. Bukan tak mungkin jika tahun ini akan ditunda lagi," tuturnya kepada Bisnis.
Dalam pembahasan RAPBN 2025 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sempat mengusulkan tarif cukai MBDK dimulai sebesar 2,5% dan akan naik bertahap hingga 20%.
Adapun, definisi pemanis buatan dalam aturan cukai MDBK yakni pemanis yang diproses secara kimiawi dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam (meliputi Asesulfame-K, Aspartam, Siklamat, Sakarin, Sukralosa, dan Neotam).
Sementara pemanis alami merupakan pemanis yang dapat ditemukan dalam bahan alam meski prosesnya sintetik ataupun fermentasi (meliputi Sorbitol, Manitol, Isomalt, Thaumatin, Glikosida Steviol, Maltitol, Laktitol, Xylitol, dan Eritritol).
Untuk gula mencakup seluruh monosakarida dan disakarida, tidak termasuk laktosa dalam hal pangan olahan berupa susu dan hasil olahannya atau pangan olahan mengandung susu. (Surya Dua Artha Simanjuntak)