Bisnis.com, JAKARTA - PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) buka suara soal potensi pembelian minyak mentah dari Rusia usai Indonesia resmi bergabung dengan forum ekonomi BRICS.
BRICS merupakan aliansi negara yang dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sebelumnya, BRICS juga telah berhasil menambah beberapa negara anggota baru, yakni Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Corporate Secretary KPI Hermansyah Y. Nasroen menuturkan pihaknya membuka kesempatan yang sama untuk semua jenis minyak dari negara manapun.
Dia menjelaskan, KPI dalam melakukan pengadaan feedstock/bahan baku berupa minyak mentah disesuaikan dengan kebutuhan spesifikasi masing-masing kilang. Selain itu, perusahaan juga mempertimbangkan keekonomian kilang menyesuaikan dengan kondisi pasar.
"KPI membuka kesempatan yang sama untuk semua jenis minyak yang dapat dikelola kilang dengan efektif dan efisien," kata Hermansyah kepada Bisnis, Senin (13/1/2025).
Dia menuturkan proses pengadaan minyak mentah dilakukan dengan mematuhi semua ketentuan baik yang berlaku di internal, nasional maupun internasional.
Baca Juga
"Proses pengadaan minyak mentah di KPI juga dilakukan dengan memenuhi standar Good Corporate Governance yang berlaku di perusahaan," jelasnya.
Adapun, potensi impor minyak dari Rusia disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.
Dia menuturkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut azas bebas aktif. Dengan kata lain, Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan negara mana saja selama tidak melanggar aturan.
Oleh karena itu, dia mengatakan sah-sah saja jika kelak ada peluang untuk RI bisa membeli minyak dari Rusia. Di sisi lain, saat ini Rusia masih menerima sanksi dari negara Barat imbas invasi ke Ukraina.
"Ketika kita bangun dengan BRICS, dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia, selama itu sesuai aturan, dan tidak ada persoalan, kenapa tidak?" kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Dia pun mengatakan Indonesia bakal tetap mengambil peluang kerja sama dengan negara mana saja selama itu menguntungkan. Menurutnya, hal ini tak hanya berlaku bagi negara anggota BRICS, tetapi juga dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
"Artinya, semua peluang yang menguntungkan Indonesia, baik bergabung dengan BRICS maupun dengan OECD, itu saya pikir nggak ada masalah," kata Bahlil.