Bisnis.com, JAKARTA — Manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi. Hal ini tercermin dalam laporan S&P Global Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia turun ke level 46,9 pada Juni 2025 dari bulan sebelumnya 47,4.
Dalam laporan terbaru S&P Global, tren kontraksi ini berlanjut sejak April 2025 lalu yang anjlok ke angka 46,7. Angka PMI manufaktur ini juga disebut terendah kedua sejak Agustus 2021 yang menunjukkan penurunan sektor produksi.
Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti mengatakan, penurunan kondisi sektor manufaktur Indonesia semakin cepat pada pertengahan tahun 2025, menjadi sinyal yang kurang baik untuk beberapa bulan ke depan.
"Kondisi permintaan berdampak buruk terhadap pertumbuhan, penjualan turun tajam sejak bulan Agustus 2021 sehingga menyebabkan penurunan produksi,” kata Bhatti dalam laporan S&P Global, Selasa (1/7/2025).
Baca Juga
Adapun, penurunan ini didorong oleh penurunan solid pada kondisi operasional pada pertengahan 2025 yang ditunjukkan dari penurunan output, aktivitas pembelian, dan ketenagakerjaan.
Penyebab utama penurunan adalah penurunan tajam permintaan atas barang produksi Indonesia. Permintaan baru turun selama 3 bulan berturut-turut dengan tingkat kontraksi paling kuat sejak Agustus 2021.
Dari sisi penjualan, penurunan sebagian besar dari pasar domestik, sedangkan penjualan ekspor stabil pada bulan ini.
"Ke depannya, perusahaan kurang begitu optimis terhadap perkiraan output, kepercayaan diri turun ke posisi terendah dalam 8 bulan,” ujarnya.
Terlebih, penurunan permintaan baru mendorong perusahaan menjalankan strategi retrenchment dengan mengurangi tenaga kerja dan aktivitas pembelian.
“Kepercayaan diri sedikit turun di tengah kekhawatiran tentang kondisi perekonomian global dan potensi dampaknya terhadap sektor manufaktur Indonesia,” jelasnya.
Aktivitas pasar dilaporkan tidak begitu aktif karena klien enggan melakukan pesanan baru. Data menunjukkan bahwa penurunan penjualan berasal dari pasar domestik karena produsen Indonesia menyampaikan bahwa tidak ada perubahan pada bisnis ekspor baru setelah 2 bulan penurunan.
Hal ini menyebabkan output pabrik di Indonesia kembali turun pada Juni. Penurunan tergolong solid. Namun, sedikit reda dari kondisi Mei.
Penjualan dan produksi terhenti sehingga mendorong perusahaan mengurangi kapasitas dengan jumlah tenaga kerja turun dua kali dalam 3 bulan dan pada laju tercepat dalam hampir 4 tahun.
Penurunan permintaan domestik dan output mengurangi tekanan kapasitas karena tumpukan pekerjaan berkurang pada bulan Juni. Namun, laju penurunan masih terbilang marginal.
Data terkini juga mengarah pada penurunan aktivitas pembelian di antara produsen Indonesia. Pembelian input turun selama 3 bulan berturut-turut, meskipun hanya pada tingkat sedang.
Pada waktu yang sama, stok inventaris pra-dan pascaproduksi turun selama 3 bulan berturut-turut dengan penurunan lebih tajam pada stok pascaproduksi.
Berkurangnya tekanan pemasok di tengah penurunan kebutuhan produksi juga mendukung percepatan waktu pengiriman dua kali dalam 3 bulan.
Sementara itu, tekanan biaya pabrik tetap solid pada akhir triwulan kedua. Panelis secara umum mengaitkan kenaikan terkini pada beban biaya dengan kenaikan harga bahan baku, meski tingkat inflasi harga input merupakan yang terendah sejak Oktober 2020.
Selanjutnya, perusahaan menaikkan harga jual sedikit sebagai upaya menjaga harga barang agar tetap kompetitif.
Melihat ke depan, tingkat optimisme terhadap perkiraan output 12 bulan mendatang turun dibandingkan bulan Mei dan di bawah rata-rata jangka panjang.
Faktanya, tingkat kepercayaan diri merupakan yang terendah sejak bulan Oktober lalu karena beberapa perusahaan khawatir tentang kondisi perekonomian global.