Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang Memanas, Ruang Penurunan Bunga Acuan BI Rate Makin Sempit?

Kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump berpotensi mendorong inflasi yang lebih tinggi.
Logo Bank Indonesia (BI) di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta pada Kamis (23/11/2023). / Bloomberg-Rosa Panggabean
Logo Bank Indonesia (BI) di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta pada Kamis (23/11/2023). / Bloomberg-Rosa Panggabean

Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede meyakini eskalasi perang dagang yang terjadi belakangan akan mempersempit ruang Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan.

Josua menjelaskan kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump berpotensi mendorong inflasi yang lebih tinggi.

AS sendiri resmi menaikkan tarif impor ke produk asal China, Meksiko, dan Kanada mulai 4 Maret 2025. AS menaikkan tarif dari 10% menjadi 20% untuk barang elektronik asal China, AS juga menerapkan tarif 25% ke semua barang asal Meksiko dan Kanada.

Kebijakan tersebut diyakini akan harga barang impor meningkat tajam. Sejalan dengan itu, Josua memprediksi bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve alias The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.

Hipotesisnya, jika suku bunga tinggi maka masyarakat akan lebih memilih menabung uang daripada membelanjakannya sehingga bisa menurunkan harga barang/jasa alias menurunkan inflasi.

Sebaliknya, jika suku bunga diturunkan maka masyarakat akan kurang tertarik menabung uang dan membelanjakannya sehingga memicu harga barang/jasa naik alias meningkatkan inflasi.

Suku tidak suka, kebijakan The Fed pun akan mempengaruhi kebijakan moneter di Tanah Air. Josua melihat Bank Indonesia (BI) tidak akan mengambil resiko menurunkan BI Rate.

Saat ini, suku bunga BI (BI Rate) sebesar 5,75% sementara suku bunga The Fed (Fed Funds Rate/FFR) sebesar 4,5%. Jika BI menurunkan suku bunga acuan sementara The Fed tidak maka maka selisih suku bunga Indonesia dan AS semakin sempit. 

"Yang berisiko meningkatkan arus modal keluar dan menekan nilai tukar rupiah," ujar Josua kepada Bisnis, Kamis (6/3/2025).

Bagaimanapun, dolar AS dianggap sebagai aset yang lebih aman sehingga investor akan memilih menjual aset di pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia untuk beralih ke aset Negeri Paman Sam apabila selisih imbal hasilnya tak signifikan.

Selain itu, Josua mengungkapkan inflasi global berpotensi meningkatkan akibat perang dagang. Akibatnya, biaya impor ke Indonesia juga berpotensi naik.

"Yang dapat membatasi ruang bagi BI dalam menurunkan suku bunga tanpa meningkatkan tekanan inflasi domestik," jelasnya.

Oleh sebab itu, dia mendorong BI melakukan intervensi strategis. Misalnya untuk menjaga stabilitas rupiah, Josua menyatakan BI melakukan intervensi di pasar valas melalui penjualan cadangan devisa dan memanfaatkan instrumen seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) guna menarik modal asing ke aset berdenominasi rupiah.

Selain itu, sambungnya, BI dan pemerintah dapat berkoordinasi untuk menjaga daya tarik surat berharga negara (SBN). Dia mencontohkan, otoritas fiskal bisa memberikan insentif pajak atau menjaga stabilitas imbal hasil obligasi. 

"Penguatan cadangan devisa juga menjadi prioritas, dengan mendorong ekspor, menarik lebih banyak investasi langsung asing, serta memperluas penggunaan rupiah dalam perdagangan internasional melalui skema local currency settlement dengan mitra dagang utama," ungkap Josua.

Di tengah ketidakpastian eksternal, Josua juga melihat kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) menjadi salah satu instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

Menurutnya, peraturan terbaru yang mewajibkan eksportir sumber daya alam (SDA) untuk menyimpan 100% DHE di Indonesia selama 12 bulan bisa menahan aliran keluar devisa dan memperkuat cadangan internasional. 

Sementara itu untuk kebijakan moneter, BI didorong untuk tetap menjaga suku bunga pada level yang kompetitif agar tetap menarik bagi investor tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi domestik.

"Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih siap menghadapi dampak ketidakpastian global akibat perang dagang dan kebijakan suku bunga tinggi AS, sekaligus menjaga stabilitas nilai tukar, investasi, dan pertumbuhan ekonomi," tutup Josua.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper