Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menyebut kenaikan tarif royalti komoditas mineral dan batu bara (minerba) akan menghambat ekspansi industri pertambangan.
Adapun, pemerintah berencana menaikkan tarif royalti komoditas minerba hingga 3 kali lipat, misalnya untuk bijih tembaga dari 5% menjadi 10%-17% , nickel matte dari 2% menjadi 4,5%-6,5%, dan feronikel dari 2% menjadi 5%-7%.
Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho mengatakan, kenaikan tersebut sangat signifikan dan berpotensi mengganggu iklim investasi di sektor pertambangan dan pengolahan mineral.
"Sebaiknya, kenaikan tersebut dilakukan bertahap dan tidak sampai 3 kali lipat, tetapi maksimal adalah 100% dari tarif yang berlaku saat ini, agar perusahaan tambang dan juga smelter dapat beradaptasi dengan kenaikan tarif tersebut,” jelas Fathul lewat keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Senin (17/3/2025).
Pasalnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) royalti khususnya batu bara belum lama ini naik sebesar 50-100% melalui PP No. 26 tahun 2022. Dia menyebut perusahaan batu bara dapat beradaptasi dengan kenaikan tersebut secara perlahan.
Menurut Fathul, rencana kenaikan tarif royalti batu bara yang akan diterapkan pemerintah tentunya akan semakin membebani usaha pertambangan batu bara mengingat biaya penambangan yang semakin tinggi, seperti stripping ratio yang rata-rata sudah di atas 1:10 dan harga BBM yang tinggi.
Baca Juga
“Ditambah pula dengan harga komoditas yang terendah sejak 5 tahun terakhir, dan telah turun sekitar 60% dari all time high di tahun 2022,” tuturnya.
Alhasil, kondisi ini makin menekan margin usaha yang pada akhirnya mengurangi kemampuan perusahaan untuk ekspansi dan memperbarui peralatan pertambangan.
Di satu sisi, pihaknya memahami bahwa rencana kenaikan PNBP royalti komoditas batu bara dan mineral merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengoptimalkan nilai sumber daya mineral.
Namun, Fathul menyebut hal ini tetap perlu mempertimbangkan kondisi usaha yang beban produksinya makin meningkat.
“Apabila, kenaikan tarif royalti terlalu tinggi hingga 3 kali lipat, tentunya akan sangat berdampak bagi perusahaan dalam jangka pendek, sebab akan menggerus margin perusahaan,” tuturnya.
Terlebih, di saat harga komoditas yang sangat volatile dan juga tidak dapat dengan segera menaikkan harga jual komoditas tersebut, karena dikhawatirkan akan terjadi demand shock berupa pengurangan permintaan pasar akibat kenaikan harga jual.
“Perlu dipertimbangkan agar kenaikan tarif dapat ditanggung oleh industri dan juga investor, jangan sampai investor yang sudah berencana untuk investasi di tambang dan sektor hilirisasi mineral menjadi batal karena kenaikan tarif royalti yang terlalu tinggi,” terangnya.
Oleh karena itu, terkait rencana kenaikan tarif royalti PNBP minerba, pihaknya mengusulkan skema dynamic royalti tariff, yaitu tarif royalti yang dinamis terhadap harga komoditas, baik batu bara maupun mineral.
“Apabila harga komoditas naik, maka tarif royalti juga akan naik dengan menggunakan formula tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah,” tuturnya.
Sebaiknya, jika harga komoditas turun, seperti harga batu ara yang sedang rendah seperti saat ini, maka tarif royalti juga akan turun sehingga perusahaan pertambangan minerba masih dapat terus beroperasi dengan margin usaha yang cukup.
Pihaknya juga berharap sebelum memutuskan revisi besaran tarif royalti minerba, pemerintah membuat kajian sensitivity analysis antara kenaikan tarif royalti dengan demand terhadap komoditas dan juga margin usaha industri, agar ditemukan tarif royalti yang pas sehingga tercipta win-win solution.