Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan tarif resiprokal atau imbal balik yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam stabilitas sektor manufaktur Indonesia.
Pemerintah Indonesia menyatakan akan terus memantau perkembangan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional dan menjaga daya tahan ekonomi dalam negeri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun bakal memanggil pelaku industri untuk membahas tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump pada hari ini, Senin (7/4/2025).
Airlangga mengatakan bahwa pertemuan itu merupakan wadah bagi pelaku usaha yang ingin memberikan masukan terhadap pemerintah terkait kebijakan AS tersebut.
“Seluruh industri akan diundang untuk mendapatkan masukan terkait dengan ekspor mereka dan juga terkait dengan hal-hal yang perlu kita jaga terutama sektor padat karya,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulis, Minggu (6/4/2025).
Dia menambahkan, masukan dari pelaku usaha bakal menjadi menjadi bagian dari proses perumusan strategi kebijakan dalam merespons tarif resiprokal tersebut.
Baca Juga
"Karena ini masih dinamis dan masih perlu working group untuk terus bekerja," tambahnya.
Adapun, Airlangga mengungkap hingga saat ini pihaknya terus melakukan komunikasi secara intens dengan pihak terkait untuk merespons kebijakan Trump.
Sejumlah pihak tersebut mulai dari United States Trade Representative (USTR), US Chamber of Commerce, hingga negara mitra lainnya. Adapun, Airlangga mengaku bahwa pihaknya telah ditenggat untuk menentukan langkah Indonesia terkait kebijakan AS hingga Rabu (9/4/2025).
“Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April, diminta untuk merespons. Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” tutur Airlangga.
Dalam catatan Bisnis, AS selama beberapa dasawarsa terakhir adalah mitra dagang utama Indonesia. Salah satu negara tujuan ekspor. Produk-produk manufaktur hingga pruduk kayu mengalir deras ke sana. Alhasil, neraca perdagangan RI - AS selalu surplus selama 4 tahun belakangan.
BPS mencatat bahwa pada 2021, surplus neraca perdagangan antara Indonesia dengan AS mencapai US$14,5 miliar. Tahun 2022, terjadi lonjakan surplus hingga mencapai US$16,5 miliar. Namun pada tahun 2023, surplus negara perdagangan Indonesia dengan AS menyusut menjadi US$11,9 miliar.
Pada 2024, data sampai Desember, ekspor nonmigas Indonesia ke AS tercatat mencapai US$26,3 miliar. Sementara impor non-migas dari AS hanya di angka US$9,6 miliar. Surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap AS mencapai angka di kisaran US$16,85 miliar.
Sementara itu, jika mengacu data dari United States Trade Representative (USTR), perdagangan barang antara AS dengan Indonesia diperkirakan mencapai $38,3 miliar pada tahun 2024. Ekspor barang AS ke Indonesia pada tahun 2024 sebesar US$10,2 miliar, naik 3,7% (US$364 juta) dari tahun 2023.
Impor barang AS dari Indonesia mencapai US$28,1 miliar pada tahun 2024, naik 4,8% (US$1,3 miliar) dari tahun 2023. Defisit perdagangan barang AS dengan Indonesia sebesar US$17,9 miliar pada 2024, meningkat 5,4% (US$923 juta) dari tahun 2023.
Walhasil, pengenaan tarif resiprokal 32% kepada Indonesia jelas mengancam neraca perdagangan Indonesia-AS yang belakangan terus meningkat.
Industri dan Manufaktur RI Terancam
Center of Economics and Law Studies (Celios) menilai kebijakan tarif timbal balik atau reciprocal tariff yang diterapkan Presiden AS Donald Trump bakal berdampak ke sektor IT Indonesia.
Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda menilai pemberian tarif impor barang luar negeri, termasuk Indonesia ke AS sebesar 32% akan menyebabkan kenaikan harga barang yang dikonsumsi oleh masyarakat AS.
“Akibatnya adalah permintaan agregat barang-barang impor tersebut akan mengalami koreksi,” kata Huda kepada Bisnis, Minggu (5/4/2025).
Adanya kebijakan ini, kata Huda berpotensi membuat teknologi dan IT dalam negeri bakal mengalami tekanan. Hal ini dikarenakan, AS memiliki berkontribusi terhadap 30% ekspor produk teknologi dan IT dalam negeri.
Apalagi, sektor permintaan barang teknologi dan IT dalam negeri belum berkembang pesat, sehingga ekspor masih menjadi salah satu pilihan pengembang industri teknologi dan IT nasional.
“Dampaknya adalah sektor tersebut akan semakin mengalami tekanan karena berkurangnya permintaan,” ujar Huda.
Lebih lanjut, sektor lain yang telah menyatakan kekhawatiran adalah industri pulp dan kertas.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengkhawatirkan penurunan daya saing produk kertas lokal akibat kebijakan tarif impor 32% untuk barang asal Indonesia masuk AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor kertas (kode HS 48) ke AS sebesar US$425 juta pada 2024 atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai US$318,90 juta.
Ketua Umum APKI, Liana Bratasida mengatakan pihaknya tengah menyoroti dampak kebijakan tarif tinggi ke AS tersebut terhadap kinerja ekspor sektor pulp dan kertas. Dia meyakini kebijakan tersebut sangat berpotensi melemahkan daya saing industri pulp dan kertas Indonesia.
“Tarif tinggi akan membuat harga produk di pasar AS menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara lain,” ujar Liana, Minggu (6/4/2025).
Tak hanya itu, Liana juga menerangkan bahwa penurunan ekspor dapat berdampak langsung pada produksi, tenaga kerja, dan kinerja pertumbuhan industri secara keseluruhan. Alhasil, kondisi tersebut dapat mengancam keberlangsungan lapangan kerja yang telah diciptakan oleh industri.
“Sebagai respons atas kebijakan tarif tinggi AS, APKI meminta pemerintah untuk segera mengambil keputusan yang strategis guna melindungi industri dalam negeri,” ujarnya.
Setali tiga uang, Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) menyampaikan kekhawatiran atas dampak kebijakan tarif impor oleh AS terhadap industri komponen otomotif nasional.
Sekjen GIAMM Rachmat Basuki menilai perlu adanya langkah strategis pemerintah dalam menyikapi situasi ini. Mengingat, ekspor komponen otomotif Indonesia ke Amerika Serikat saat ini menempati posisi kedua terbesar setelah Jepang.
“Ini tentu berdampak besar bagi industri kita, karena sebelumnya tarif masuk ke AS relatif kecil. Sementara produk Amerika yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif yang jauh lebih tinggi," ujarnya melalui keterangan resmi, Minggu (6/4/2025).
GIAMM mengusulkan pendekatan timbal balik atau reciprocal tariff sebagai solusi jangka pendek yang lebih adil.
“Kalau mereka kenakan tarif tinggi, kita pun perlu menyesuaikan. Tarif dibalas tarif. Tapi juga jangan lupa opsi lain seperti menurunkan tarif untuk produk AS agar terjadi keseimbangan,” ujar Basuki.