Bisnis.com, JAKARTA - Pada Oktober 2024, Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengeluarkan outlook yang mengestimasi bahwa volume perdagangan barang dunia pada 2024 akan tumbuh sekitar 2,7%, dengan proyeksi sedikit peningkatan ke level 3,0% pada 2025 (angka ini dikoreksi dari proyeksi sebelumnya 3,3%) terlepas meluasnya konflik di kawasan dan meningkatnya ketidakpastian kebijakan perdagangan. Proyeksi ini diperkuat oleh tren barometer perdagangan yang di atas tren (data WTO, 12 Maret 2025).
Namun, WTO mengingatkan meski tren cukup positif, barometer ini perlu disikapi secara berhati-hati karena meningkatkannya ketidakpastian kebijakan perdagangan. Dalam jangka pendek mungkin perdagangan meningkat karena kenaikan impor, tetapi penurunan perdagangan perlu diantisipasi di akhir tahun.
Narasi ini bukan tanpa alasan. Di bawah administrasi Trump untuk kedua kalinya, arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) cenderung menjaga kebijakan yang proteksionisme seperti yang terjadi pada periode Trump sebelumnya (2017—2022). Pada waktu itu, Pemerintah AS menaikkan tarif impor sebesar 25% terhadap produk baja dan 10% produk aluminium, dengan pengecualian pengenaan kepada beberapa negara seperti Uni Eropa, Meksiko, Kanada, dan Australia.
Sementara saat ini, sejak 12 Maret 2025 tarif impor ditambah sebesar 25% terhadap produk baja dan aluminium yang kali ini berlaku secara global tanpa pengecualian. Pemerintah AS juga telah mengenakan tarif impor tambahan kepada berbagai produk asal Kanada, Meksiko, dan China.
Tidak berhenti di sana, Pemerintah AS mengeluarkan lagi kebijakan tarif resiprokal (di dalam Fair and Reciprocal Plan). Kebijakan ini akan berupa pengenaan tambahan tarif impor dengan besaran yang disesuaikan dengan kebijakan hambatan non-tarif negara lain yang dikenakan, terutama negara yang menyumbang defisit neraca perdagangan AS.
China, Kanada, dan Uni Eropa telah merespons langsung kebijakan perdagangan AS dengan mengambil tindakan balasan (retaliasi) berupa tambahan tarif impor terhadap produk-produk AS yang besarannya setara dengan nilai perdagangan produk ekspor negara-negara tersebut ke AS.
Baca Juga
Dinamika tit-for-tat (balas membalas tindakan unilateral) antara negara-negara dengan ekonomi besar di dunia berpotensi menyebabkan “turbulensi” perdagangan global atau “perang dagang” yang meluas. Studi-studi UNCTAD pada medio 2018—2019, mengamati bahwa negara-negara dengan ekonomi yang lebih miskinlah yang akan paling terdampak dari situasi “perang dagang”, termasuk menghambat upaya negara-negara berkembang untuk terintegrasi dengan rantai pasok global.
Di tengah ketidakpastian kondisi perdagangan global, belum ada pernyataan khusus dari WTO atau Direktur Jenderal WTO (pimpinan tertinggi WTO) yang dikeluarkan untuk meredakan atau mengatasi situasi yang tengah terjadi. Hal ini cukup disayangkan karena WTO merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengurusi aturan perdagangan global.
WTO semestinya dapat mendesak negara-negara anggotanya agar menahan diri untuk tidak mengambil tindakan-tindakan unilateral yang malah berpotensi memperparah kondisi perdagangan dunia.
WTO tampak kehilangan relevansinya untuk mengatasi situasi yang menyelimuti perdagangan global. Satu sisi untuk menjaga relevansi WTO dan sistem perdagangan multilateral, beberapa negara maju mendorong penyelesaian perundingan-perundingan berjalan, antara lain perundingan perjanjian perikanan tahap kedua dan perundingan dalam kerangka Joint Statement Initiatives.
Di sisi lain, WTO seharusnya mengutamakan penyelesaian perundingan untuk mengembalikan fungsi penuh sistem penyelesaian sengketa WTO karena perannya yang esensial dalam menegakkan aturan perdagangan global dan menyelesaikan perselisihan negara-negara anggota WTO. Dengan arah kebijakan perdagangan AS kini, keraguan perundingan reformasi sistem penyelesaian sengketa WTO dapat diselesaikan dalam jangka pendek semakin merebak.
Tanpa sistem penyelesaian sengketa yang berfungsi penuh, terutama kembali beroperasinya tahapan banding, diperkirakan menggeser pendekatan penyelesaian sengketa di WTO dari pendekatan hukum menjadi pendekatan diplomasi yang berarti langkah mundur kepada era sebelum WTO. Situasi ini semakin mengancam kepentingan negara-negara berkembang, karena hasil penyelesaian perselisihan akan lebih dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi suatu negara.
Sikap skeptis terhadap WTO seyogianya tecermin juga dari kebijakan perdagangan negara anggota WTO. Sebagai contoh, Uni Eropa telah mengubah enforcement regulation pada 2021 (EUER) – yang mengizinkan Uni Eropa mengenakan tindakan balasan kepada negara lain, salah satunya meski tanpa hak retaliasi dari WTO tetapi ketika hakim panel WTO telah mengeluarkan keputusan yang menguntungkan Uni Eropa tetapi keputusan tersebut dibanding kepada Badan Banding WTO yang tidak berfungsi. Ketentuan Uni Eropa ini sejatinya tindakan sepihak dan tidak selaras dengan ketentuan dan semangat untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral dengan WTO sebagai intinya.
Saat ini, Uni Eropa sedang menyiapkan tindakan balasan dalam kerangka EUER terhadap AS dalam kaitan kebijakan tambahan tarif impor, dan Indonesia disebabkan langkah banding Indonesia atas keputusan hakim panel WTO dalam kasus sengketa dagang mengenai ekspor bijih nikel, padahal upaya banding Indonesia merupakan hak terlegitimasi oleh WTO. Dengan demikian, situasi perdagangan global saat ini bahkan telah berdampak negatif kepada kepentingan negara berkembang.
Secercah cahaya datang dari Deputi Dirjen WTO Angela Ellard (dalam pidato di Universitas Waseda di Tokyo pada 11 Maret 2025), yang menekankan perlunya perundingan reformasi sistem penyelesaian sengketa WTO menjadi agenda prioritas. Sistem penyelesaian sengketa WTO yang beroperasi penuh dapat meminimalkan implikasi negatif dari “perang dagang” bagi negara berkembang, yang setidaknya setiap penyelesaian perselisihan dilakukan secara berimbang dan berdasarkan aturan hukum yang jelas.
Lanskap perdagangan global saat ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan keraguan, khususnya peran WTO. Dengan negara-negara yang arah kebijakan perdagangannya proteksionisme dan tindakan-tindakan sepihak yang tak mengindahkan aturan WTO, urgensi menciptakan kerangka perdagangan internasional yang kuat dan efektif semakin nyata diperlukan.
WTO mesti menentukan sikap, membuat ruang untuk dialog dan kolaborasi di antara anggotanya untuk membantu navigasi perdagangan global yang sedang menghadapi berbagai tantangan.
Apabila sebagian negara anggota WTO memandang masih terdapat celah yang menganga di dalam perjanjian WTO sehingga tidak dapat mengatasi berbagai persoalan perdagangan terkini, WTO perlu menyediakan forum bagi seluruh anggota WTO untuk duduk bersama dengan tujuan mencari jalan tengah dan memulai negosiasi jika diperlukan. Hanya melalui kerja sama dan memperkuat komitmen multilateral yang dapat diharapkan memberikan solusi yang menguntungkan semua pihak yang berpartisipasi di dalam perdagangan internasional.