Belajar dari Masa Lalu
Berbekal pengalaman dari babak pertama perang dagang era Trump, China kini merespons gelombang tarif terbaru AS dengan strategi matang.
Tidak hanya mengandalkan tarif balasan, Beijing juga memberlakukan sanksi terhadap sekitar 60 perusahaan AS dan memperketat ekspor logam tanah jarang, yang sangat penting bagi industri teknologi global.
Langkah-langkah ini merupakan hasil studi intensif oleh tim khusus di pemerintahan China yang ditugaskan menganalisis kebijakan Trump dan menyusun tanggapan yang bisa ditingkatkan secara bertahap.
Presiden Xi Jinping memutuskan untuk menyerang lebih dulu—mengumumkan tarif luas sebelum AS resmi menerapkannya. Langkah itu diumumkan tepat sebelum pembukaan bursa Wall Street pada 4 April, yang bertepatan dengan libur nasional di China—dan langsung mengguncang pasar saham AS.
Seorang pejabat China menyebut respons kilat ini mirip dengan pola pengambilan keputusan darurat semasa pandemi covid-19—dilakukan secara cepat tanpa prosedur birokrasi biasa.
Baca Juga
Meski demikian, sejumlah tokoh dalam negeri mengusulkan pendekatan yang lebih selektif. Blogger politik terkemuka Ren Yi menyebut bahwa pembalasan tidak harus dilakukan dengan memperluas tarif.
Ia menyarankan tindakan seperti menghentikan kerja sama pengendalian fentanyl serta memperketat impor pertanian dan film dari AS.
Kementerian Keuangan China pada Jumat lalu menyatakan bahwa dengan tarif terhadap barang-barang AS kini mencapai 125%, mereka tak akan lagi menyesuaikan diri jika Washington menaikkan tarif lebih lanjut. Strategi tarif AS pun disebut sebagai sebuah “lelucon.”
Dalam upaya diplomatiknya, China telah memanggil para kepala perwakilan luar negerinya ke Beijing untuk pertemuan koordinasi khusus. Pemerintah juga mengirim surat resmi kepada sejumlah negara lain yang ditekan oleh AS dalam perundingan dagang.
Isi surat itu menegaskan posisi China serta menyerukan dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral dan penolakan terhadap dominasi unilateral.
Menurut seorang diplomat Uni Eropa, Beijing juga mendekati beberapa negara anggota G20 dengan draft pernyataan bersama yang menyerukan dukungan terhadap sistem perdagangan global. Namun, deklarasi tersebut belum menyentuh kekhawatiran negara-negara lain—seperti soal kelebihan kapasitas industri China, subsidi pemerintah, dan praktik persaingan yang dinilai tidak adil.
China menanggapi kritik ini dengan mengatakan bahwa kekuatan industrinya adalah hasil dari keunggulan struktural, bukan praktik tidak adil, dan justru memberi manfaat bagi perekonomian global.
Di dalam negeri, narasi patriotik makin menguat. Editorial People’s Daily yang menyerukan ketenangan rakyat menjadi viral di media sosial. Pemerintah juga mulai mengubah strategi pertumbuhan dengan fokus pada konsumsi rumah tangga untuk menggantikan ekspor, di tengah krisis properti yang belum pulih.
”Medan pertempuran utama justru ada di dalam negeri, bukan semata-mata pada meja perundingan bilateral,” ungkap Zhao Mingdan.
Sebagai penegas sikap, akun resmi pemerintah China di platform X mempublikasikan potongan pidato Mao Zedong tahun 1953, saat Perang Korea—konflik militer terakhir antara China dan AS.
Dalam pidato itu, Mao yang kehilangan putranya di medan perang menyatakan, “Tak peduli seberapa lama perang ini berlangsung, kami tidak akan pernah menyerah.”