Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik alias BPS mencatat Amerika Serikat (AS) merupakan negara penyumbang surplus dagang terbesar ke Indonesia sejak 2015, yang menandakan pentingnya negara tersebut dalam menjaga defisit transaksi berjalan Indonesia.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa AS merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
"Surplus neraca perdagangan tertinggi dengan Amerika Serikat terjadi pada tahun 2022, sebesar US$16,57 miliar," ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).
Sementara itu, AS menyumbang surplus perdagangan ke Indonesia senilai total US$115,78 sejak 2015 hingga Maret 2025. Angka tersebut setara 55,97% dari total neraca perdagangan Indonesia dengan semua negara yang surplus US$206,83 miliar dari 2015 hingga Maret 2025.
Pada periode yang sama, negara kedua penyumbang surplus perdagangan terbesar adalah India dengan nilai US$100,15 miliar atau setara 48,42% dari total surplus neraca perdagangan Indonesia.
Amalia mengungkapkan surplus perdagangan dalam 10 tahun terakhir tersebut ditopang oleh ekspor nonmigas, yang mana AS selalu menyumbang surplus ke Indonesia. Sebaliknya untuk perdagangan migas, AS selalu menyumbang defisit ke Indonesia.
Baca Juga
Sementara itu, Amalia mengungkapkan tiga komoditas utama yang kerap menyumbang nilai ekspor terbesar ke AS yaitu mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, serta pakaian dan aksesorisnya.
Dia mencontohkan, nilai ekspor mesin dan perlengkapan elektrik sebesar US$1,22 miliar atau setara 16,71% dari total nilai ekspor Indonesia ke AS selama Januari—Maret 2025.
Kemudian nilai ekspor alas kaki mencapai US$657,9 juta atau setara 9,01% dari total nilai ekspor Indonesia ke AS selama Januari—Maret 2025.
Sementara, nilai ekspor pakaian dan aksesorinya sebesar US$629,25 juta atau setara 8,61% dari total nilai ekspor Indonesia ke AS selama Januari—Maret 2025.
Defisit Transaksi Berjalan
Sebagai informasi, neraca perdagangan atau kinerja ekspor-impor kerap menjadi komponen utama transaksi berjalan (current account) suatu negara termasuk Indonesia.
Transaksi berjalan merupakan indikator utama yang menunjukkan seberapa sehat dan berkelanjutannya hubungan ekonomi luar negeri suatu negara.
Dalam publikasi bertajuk Laporan Tim Kajian Neraca Pembayaran (2012) yang diterbitkan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan misalnya, ditegaskan bahwa jika terjadi tekanan pada transaksi berjalan maka akan mempengaruhi posisi cadangan devisa yang pada gilirannya bisa mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah.
Data terbaru, Bank Indonesia (BI) melaporkan transaksi berjalan mengalami defisit US$1,1 miliar pada kuartal IV/2024. Angka tersebut lebih rendah defisit transaksi berjalan pada kuartal III/2024 senilai US$2 miliar.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan bahwa penurunan defisit transaksi berjalan tersebut didorong oleh surplus neraca perdagangan.
“Perbaikan kinerja transaksi berjalan terutama bersumber dari peningkatan surplus neraca perdagangan barang, didukung oleh pertumbuhan ekspor nonmigas seiring dengan kenaikan harga beberapa komoditas utama ekspor Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (20/2/2025).
Artinya, sumbangsih besar surplus perdagangan AS menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga saldo transaksi berjalan Indonesia, yang pada akhirnya menentukan kinerja perekonomian dalam negeri.
Kendati demikian, eskalasi perang dagang global terutama karena penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump kepada para mitra dagangnya menjadi ancaman serius termasuk Indonesia yang ingin dikenai tarif bea masuk 32%.
Akibat ancaman tarif Trump tersebut, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede pun melihat neraca perdagangan Indonesia ke depan bisa tertekan.
"Hal ini juga berdampak pada prospek transaksi berjalan yang diperkirakan akan mengalami defisit sebesar 1,18% dari PDB tahun ini," ujar Josua kepada Bisnis, Minggu (20/4/2025).
Senada, Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Fithra Faisal Hastiadi menilai neraca perdagangan Indonesia ke depan masih diliputi ketidakpastian terutama meningkatkan risiko pelemahan permintaan ekspor dan pergeseran permintaan domestik.
Dia mencontohkan, eskalasi perang dagang dapat menyebabkan pelemahan permintaan dari mitra dagang utama Indonesia seperti China, AS, dan Uni Eropa sehingga menurunkan volume ekspor, khususnya di sektor manufaktur dan yang berbasis sumber daya alam.