Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap empat penyebab utama yang membuat dunia usaha mengalami pelemahan, sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 di angka 4,87% (year-on-year/YoY) atau lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 5,11% YoY.
Dalam laporan Apindo Indonesia Quarterly Update, pengusaha juga menyoroti tekanan struktural di sektor manufaktur. Hal ini tecerminkan dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April yang turun tajam ke level 46,7, dari posisi Maret 52,4, dan menjadi kontraksi terdalam sejak Agustus 2021.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan bahwa pihaknya telah menganalisa setidaknya ada empat tantangan utama yang menghambat daya saing industri Tanah Air.
"Regulasi yang belum mendukung efisiensi produksi, biaya logistik tinggi [23% dari PDB], ketidakpastian hukum di lapangan, serta rendahnya produktivitas tenaga kerja yang didominasi oleh lulusan pendidikan dasar," jelas Shinta dalam konferensi pers Apindo 2025, Selasa (13/5/2025).
Menurut dia, perlambatan tersebut juga terjadi di tengah melemahnya daya beli, di mana konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,89%, terendah dalam lima kuartal terakhir, meskipun mencakup periode Ramadan yang biasanya mendorong belanja masyarakat.
"Tekanan inflasi dan terbatasnya stimulus fiskal menjadi penyebab utama penurunan daya beli, terutama di kelompok pendapatan menengah ke bawah," tuturnya.
Sementara itu, dari segi fiskal, belanja pemerintah mengalami kontraksi sebesar 1,38% sebagai hasil dari kebijakan yang lebih berhati-hati.
Di sisi lain, investasi juga menunjukkan pelemahan dengan pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 2,12%, angka terendah dalam dua tahun terakhir. "Sikap wait and see investor terhadap transisi pemerintahan serta hambatan struktural seperti regulasi yang rumit dan tingginya biaya logistik menjadi faktor penghambat utama," jelasnya.
Lebih lanjut, Shinta menuturkan, kinerja ekspor juga tidak memberikan dukungan berarti, dengan penurunan sebesar 7,53% secara kumulatif dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu.
Adapun, faktor penyebabnya antara lain turunnya harga komoditas dan melemahnya permintaan dari mitra dagang utama seperti China dan Uni Eropa.
Tak sampai disitu, volatilitas nilai tukar rupiah juga turut mewarnai kondisi ekonomi. Rupiah sempat melemah hingga Rp17.000 per dolar AS sebelum kembali menguat ke kisaran Rp16.500-an. Tekanan ini dipicu oleh ketegangan geopolitik dan ekspektasi suku bunga tinggi di Amerika Serikat yang memicu arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sejalan dengan itu, kondisi ini juga membuat ruang pelonggaran moneter pun menjadi terbatas meskipun Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga dua kali sejak September 2024.
Melihat dinamika tersebut, sejumlah lembaga internasional telah menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia untuk tahun 2025. IMF dan Bank Dunia kini memprediksi pertumbuhan sebesar 4,7%, sementara OECD memproyeksikan 4,9%. Namun, Shinta menilai Indonesia masih memiliki peluang strategis di tengah perang dagang global.
Dengan tarif AS yang tinggi terhadap produk dari Tiongkok (145%), Vietnam (46%), dan Bangladesh (37%), produk ekspor Indonesia seperti pakaian dan alas kaki dapat mengambil alih pangsa pasar.
Saat ini, RI hanya menguasai 4,9% pasar pakaian rajutan dan 9% pasar alas kaki AS, tertinggal dari Tiongkok dan Vietnam. Apindo telah menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis kepada pemerintah, termasuk peningkatan hubungan dagang bilateral seperti TIFA, percepatan CEPA, serta penguatan sistem perlindungan domestik melalui mekanisme trade remedies seperti anti-dumping dan safeguard.