Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemberlakuan kembali tarif tinggi oleh Donald Trump terhadap negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, menandai fase baru dalam eskalasi proteksionisme global.
Meski belum akan diimplementasikan, kebijakan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa tekanan terhadap negara dengan surplus perdagangan seperti Indonesia, masih akan terus meningkat. Situasi ini menuntut respons yang tidak hanya diplomatis, tetapi juga struktural dan strategis dari pemerintah serta pelaku usaha.
Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang utama Indonesia, terbesar kedua tepatnya, setelah China. Dalam 5 tahun terakhir (2019—2024), nilai ekspor Indonesia ke AS meningkat signifikan, dari US$17,84 miliar menjadi US$26,31 miliar. Bahkan pada Januari—Februari 2025, ekspor Indonesia ke AS telah mencapai US$4,67 miliar, meningkat 14% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Ketergantungan terhadap pasar AS menciptakan kerentanan yang nyata, terutama ketika kebijakan sepihak berpotensi menghambat akses pasar secara drastis, mengancam ekspor berkelanjutan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan beragam komoditas ekspor utama Indonesia yang sangat mungkin terdampak oleh kebijakan tarif AS, antara lain mesin dan perlengkapan elektrik (US$4,18 miliar), pakaian rajutan (US$2,48 miliar), alas kaki (US$2,39 miliar), pakaian non-rajutan (US$2,1 miliar), serta lemak dan minyak nabati (US$1,78 miliar).
Bila digabung dengan komoditas lain seperti karet, produk perikanan, dan kendaraan, potensi nilai ekspor yang terdampak mencapai lebih dari US$20 miliar. Sektor-sektor ini umumnya padat karya, sehingga gangguan ekspor berisiko menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas. Dampaknya akan terasa hingga ke sektor produksi dan tenaga kerja di dalam negeri.
Baca Juga
Dalam misi negosiasi tarif ke AS, April 2025, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pascakebijakan tarif Trump, perlu mitigasi risiko penurunan ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu, satunya melalui diversifikasi pasar tujuan ekspor.
Diversifikasi pasar ekspor kini menjadi keniscayaan. Namun, ekspansi ke pasar non-tradisional atau emerging market, seperti Afrika, Eropa Timur, atau Asia Selatan tidak lepas dari risiko tinggi, baik dari sisi ketidakpastian hukum, stabilitas politik, maupun profil pembeli. Dalam konteks inilah, Asuransi Ekspor (Export Credit Insurance), menjadi instrumen mitigasi risiko yang krusial dan sangat relevan untuk dioptimalkan.
Polis Asuransi Ekspor memberi perlindungan kepada eksportir atas risiko gagal bayar dari pembeli luar negeri, baik karena alasan komersial (kebangkrutan, wanprestasi, penolakan barang), maupun alasan politik (pembatasan devisa, pelarangan impor, perang/konflik di negara importir). Asuransi ini tidak hanya mengurangi potensi kerugian finansial, tetapi juga meningkatkan keberanian pelaku usaha dalam melakukan ekspansi pasar tanpa harus mengorbankan keamanan bisnis.
Dan ini bukan konsep baru. Praktik internasional menunjukkan bahwa negara-negara yang tangguh dalam ekspor menjadikan asuransi ekspor sebagai bagian integral dari strategi perdagangan nasional. Inggris memiliki UK Export Finance (UKEF), Jerman didukung oleh Euler Hermes, dan Jepang oleh NEXI (Nippon Export and Investment Insurance), yang menjalankan bisnis asuransi secara efisien dan efektif untuk menanggung risiko yang timbul dalam transaksi luar negeri.
Selanjutnya, Korea Selatan dengan K-SURE, yang memberikan dukungan komprehensif terhadap transaksi internasional di seluruh dunia, sedangkan Thailand melalui EXIM Thailand melayani kebutuhan keuangan eksportir dan investasi Thailand di luar negeri. Skema-skema tersebut tidak hanya memberikan perlindungan, tetapi juga menyediakan sistem informasi risiko negara, evaluasi pembeli, hingga bantuan penagihan piutang internasional.
Indonesia memiliki instrumen sejenis melalui PT Asuransi Asei Indonesia (Asuransi Asei) dan Indonesia Eximbank serta sejumlah perusahaan asuransi swasta. Namun, harus diakui, penetrasinya saat ini masih terbatas. Literasi pelaku usaha terhadap eksportir atas produk ini masih perlu ditingkatkan.
Banyak eksportir enggan menembus pasar baru karena kekhawatiran terhadap ketidakpastian pembayaran. Padahal, mereka inilah yang paling membutuhkan jaminan dalam menghadapi risiko perdagangan lintas batas. Karena risiko terbesar eskportir adalah tidak dibayar.
Pemerintah perlu melakukan intervensi aktif agar asuransi ekspor dapat menjadi pendorong utama diversifikasi ekspor. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain memperkuat peran dan fungsi Asuransi Asei dan Eximbank, mendorong integrasi data risiko global ke dalam layanan digital yang mudah diakses eksportir. Juga menyusun kebijakan-kebijakan yang pro pasar seperti subsidi premi untuk ekspor ke pasar non-tradisional. Hal lain, misalnya mengkreasi skema insentif fiskal bagi eksportir yang memanfaatkan asuransi ekspor untuk mendorong adopsi secara lebih luas.
Dalam jangka panjang, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menjadikan polis asuransi ekspor sebagai salah satu syarat dalam skema pembiayaan ekspor nasional, seraya mengembangkan kerangka peraturan yang mendukung konsolidasi antara lembaga keuangan, asuransi, dan otoritas perdagangan.
Ketika gejolak perdagangan global kian dinamis dan kebijakan tarif menjadi alat tekan politik, seperti dilakukan Trump, ketahanan ekspor tidak cukup hanya bergantung pada diplomasi dagang. Keberanian ekspansi pasar harus dibangun di atas landasan mitigasi risiko yang terukur dan kredibel. Dalam konteks ini, Asuransi Ekspor bukan sekadar instrumen pelengkap, melainkan fondasi vital dalam arsitektur perdagangan luar negeri yang tangguh.
Sudah saatnya Indonesia menempatkan Asuransi Ekspor sebagai bagian utama dari sistem pertahanan perdagangan nasional. Bukan hanya untuk merespons ancaman jangka pendek seperti tarif Trump, tetapi juga sebagai bekal jangka panjang dalam mengamankan posisi Indonesia di rantai pasok global yang makin kompleks dan kompetitif. Eksportir perlu dilindungi dengan aman, menjaga ekspor yang berkelanjutan.