Bisnis.com, JAKARTA — Jepang menegaskan tidak akan terpaku pada tenggat 9 Juli 2025 terkait kenaikan tarif timbal balik dengan Amerika Serikat dan menyatakan siap menghadapi kemungkinan bahwa negosiasi dagang akan berlangsung lebih lama dari yang diharapkan.
Menteri Revitalisasi Ekonomi Jepang Ryosei Akazawa mengatakan belum ada penetapan batas waktu resmi untuk menyelesaikan pembicaraan dengan AS terkait tarif.
“Untuk menghindari kesalahpahaman, saya ingin menegaskan bahwa saya sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa 9 Juli adalah tenggat negosiasi antara Jepang dan AS,” ujarnya kepada wartawan di Tokyo dikutip dari Bloomberg, Jumat (20/6/2025).
Akazawa menambahkan kedua negara terus menjalin komunikasi melalui berbagai saluran dan akan terus mempertimbangkan langkah paling efektif, termasuk melakukan konsultasi lanjutan yang sesuai.
Ketika ditanya apakah Jepang akan meminta perpanjangan tenggat waktu sebelum tarif kembali dinaikkan, Akazawa enggan memberikan jawaban pasti.
Akazawa mengungkapkan bahwa putaran negosiasi selanjutnya belum dijadwalkan dan Jepang tidak akan menetapkan tenggat waktu tertentu dalam pembahasan ini. Dia kembali menggambarkan proses negosiasi sebagai berjalan di tengah kabut, frasa yang sebelumnya dia gunakan menjelang pertemuan G7.
Baca Juga
Dia juga mengisyaratkan bahwa perhatian AS saat ini terpecah, terutama oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, sehingga pembicaraan dagang dengan Jepang berisiko tertunda.
“Bukan tidak mungkin AS kesulitan meluangkan cukup waktu untuk membuat kemajuan berarti dalam negosiasi Jepang-AS. Ini berlaku bagi kedua belah pihak. Kami tidak hanya membahas tarif saja," ujar Akazawa.
Sebagai catatan, AS berencana mengembalikan tarif umum ke tingkat semula pada 9 Juli 2025. Bagi Jepang, hal ini berarti tarif impor akan naik dari 10% menjadi 24%.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent sebelumnya menyebut bahwa perpanjangan dapat dipertimbangkan bagi negara-negara yang bernegosiasi dengan itikad baik.
Pernyataan ini disampaikan sehari setelah Perdana Menteri Ishiba bertemu dengan para pemimpin partai oposisi Jepang. Dalam pertemuan tersebut, isu surplus perdagangan mobil Jepang dengan AS disebut-sebut menjadi salah satu titik gesekan utama dalam negosiasi.
Ishiba dan Presiden AS Donald Trump sejauh ini belum berhasil mencapai kesepakatan tarif, meskipun telah melakukan tiga kali pembicaraan via telepon sebelum akhirnya bertemu langsung di sela-sela KTT G7 di Kanada pekan ini.
Sama seperti negara lain, Jepang dikenai tarif impor sebesar 25% untuk kendaraan dan suku cadang, serta tarif 50% untuk baja dan aluminium oleh pemerintahan Trump.
Akazawa menambahkan, baik Jepang maupun AS memiliki kepentingan nasional yang tidak bisa dikompromikan. “Melindungi keuntungan industri otomotif, yang merupakan sektor kunci bagi Jepang, adalah bagian dari kepentingan nasional kami," pungkasnya.