Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketidakpastian Tarif Trump AS Hambat Pemulihan Manufaktur Asia

Perlambatan aktivitas manufaktur di Asia semakin dalam pada Juni 2025. Catatan ini menjadi sinyal peringatan bagi prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan.
Aktivitas salah satu pabrik di China./Bloomberg-Qilai Shen
Aktivitas salah satu pabrik di China./Bloomberg-Qilai Shen

Bisnis.com, JAKARTA — Perlambatan aktivitas manufaktur di Asia semakin dalam pada Juni 2025. Catatan ini menjadi sinyal peringatan bagi prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan seiring dengan rencana kenaikan tarif atas pengiriman ke Amerika Serikat yang akan berlaku pekan depan.

Melansir Bloomberg, Selasa (1/7/2025), perekonomian yang bergantung pada ekspor, seperti Taiwan dan Vietnam, mencatat penurunan lebih lanjut pada purchasing managers’ index (PMI) manufakturnya. Pabrik-pabrik melaporkan penurunan berkelanjutan pada pesanan baru, produksi, dan jumlah tenaga kerja, seiring perang dagang yang terus menekan permintaan.

PMI Taiwan turun menjadi 47,2 pada Juni dari sebelumnya 48,6 pada Mei, menurut survei yang dirilis S&P Global. Annabel Fiddes dari S&P Global Market Intelligence mengatakan penurunan terjadi lebih tajam pada bisnis baru dan penjualan ekspor baru.

"Hal ini seiring dengan banyak perusahaan yang sering mengomentari melemahnya permintaan pelanggan, baik di pasar domestik maupun luar negeri, di tengah kekhawatiran tarif dan sikap hati-hati dari klien,” katanya dikutip dari Bloomberg.

Sementara itu, Korea Selatan—yang menjadi salah satu kekuatan manufaktur utama kawasan—mencatat sedikit perbaikan PMI, naik ke level 48,7 pada Juni dari 47,7 pada Mei. Namun, angka ini masih berada di bawah ambang batas 50 yang memisahkan ekspansi dan kontraksi. 

S&P mencatat adanya kantong-kantong perbaikan di pasar domestik, meski permintaan internasional tetap lesu. Ekspor Negeri Ginseng sempat sedikit rebound pada Juni, sebagian didorong oleh percepatan pengiriman sebelum kenaikan tarif balasan yang direncanakan Presiden AS Donald Trump.

Sejumlah negara lain masih bertahan di zona kontraksi, yakni Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Indonesia mencatat PMI terendah di kawasan sebesar 46,9 pada Juni.

Data terbaru ini menjadi sinyal peringatan bagi Asia yang selama ini dikenal sebagai pusat manufaktur global, mengingat masa tenggang selama tiga bulan terkait tarif balasan Trump akan berakhir pada 9 Juli. AS berencana mengumumkan lebih banyak kesepakatan usai libur nasional 4 Juli, yang akan melengkapi kerangka kerja yang sudah disepakati dengan China dan Inggris.

Namun, ketidakpastian masih membayangi. Trump pada Senin (30/6/2025) kembali melancarkan tekanan ke Jepang, mengancam memberlakukan tarif baru dengan alasan Negeri Sakura enggan membuka pasar bagi ekspor beras AS. Kecuali tercapai kesepakatan, tarif menyeluruh atas produk Jepang yang diimpor ke AS akan naik menjadi 24% mulai 9 Juli.

Peningkatan tarif ini berpotensi membayangi prospek Jepang, yang baru saja mencatat stabilisasi aktivitas manufaktur pada Juni. PMI Jepang naik menjadi 50,1, tertinggi sejak Mei 2024, sekaligus masuk ke zona ekspansi seiring optimisme pabrik terhadap prospek setahun ke depan.

"Meski Jepang meningkatkan jumlah tenaga kerja dan produksi pada Juni, kita perlu melihat pemulihan yang berkelanjutan pada permintaan pelanggan, yang saat ini masih tertekan akibat ketidakpastian terkait tarif AS, untuk memastikan pemulihan produksi dapat bertahan,” ujar Fiddes.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper