Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi China melampaui ekspektasi pada kuartal II/2025, ditopang oleh lonjakan ekspor ke pasar di luar Amerika Serikat. Namun, data juga mengungkap tekanan yang kian dalam dari lemahnya permintaan domestik.
Melansir Bloomberg, Selasa (15/7/2025), Biro Statistik Nasional (NBS) mencatat produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,2% pada kuartal II/2025 dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/YoY).
Pertumbuhan ini melampaui proyeksi konsensus ekonom yang memberkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1%, namun masih lebih rendah dari kuartal I/2025 yang mencapai 5,4%.
Ekonom China Societe Generale SA Michelle Lam mengatakan data kali ini kembali menggambarkan kuatnya sisi suplai di tengah lemahnya permintaan domestik. Ketangguhan ekspor tidak bisa diandalkan dalam jangka panjang.
“Ini bukan data yang menggembirakan meski PDB-nya mengalahkan ekspektasi,” ungkapnya.
Sementara itu, produksi industri meningkat 6,8% secara tahunan pada Juni, melampaui proyeksi 5,6%. Namun, penjualan ritel hanya tumbuh 4,8%, jauh di bawah ekspektasi analis.
Baca Juga
Output manufaktur melonjak 7,4% ke level tertinggi dalam tiga bulan, mendorong kenaikan produksi industri secara keseluruhan.
Di sisi lain, penjualan minuman, rokok, alkohol, dan kosmetik mencatat penurunan, sedangkan layanan katering tumbuh melambat. Konsumsi ditopang oleh pembelian peralatan rumah tangga, alat komunikasi, dan furnitur yang didorong oleh subsidi pemerintah.
Dalam pernyataannya, Biro Statistik Nasional menyebut ekonomi China menunjukkan pertumbuhan stabil dengan momentum positif, namun mengingatkan bahwa faktor eksternal penuh ketidakpastian dan permintaan domestik masih kurang memadai.
Kendati ekspor ke AS anjlok 24% pada kuartal ini, kinerja perdagangan secara keseluruhan tetap tumbuh.
Stimulus fiskal dan belanja konstruksi membantu menopang permintaan dalam negeri. Ini memberi ruang bagi Beijing untuk menyiapkan respons kebijakan tambahan jika perang dagang kembali memanas setelah jeda tarif berakhir pada pertengahan Agustus.
Bank Sentral China (PBOC) hingga kini enggan melakukan pelonggaran besar-besaran, dan lebih memilih instrumen pinjaman struktural yang diarahkan pada sektor-sektor prioritas agar likuiditas tidak menganggur dalam sistem keuangan.
Subsidi pemerintah yang bersumber dari penjualan obligasi khusus jangka panjang menjadi penopang utama konsumsi rumah tangga, terutama untuk pembelian smartphone dan perangkat rumah tangga, serta investasi korporasi pada alat produksi baru.
Media pemerintah sebelumnya melaporkan bahwa pemerintah pusat dan daerah masih memiliki ruang menerbitkan obligasi senilai lebih dari 7 triliun yuan (sekitar US$976 miliar) hingga akhir tahun guna mendorong pertumbuhan.
Ke depan, ekonomi China masih menghadapi tantangan, termasuk potensi penurunan ekspor karena ketidakpastian atas kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
Permintaan domestik juga masih rapuh akibat tekanan deflasi yang bersumber dari kelebihan kapasitas industri dan lemahnya kepercayaan pasar, seiring kontraksi berkelanjutan di sektor properti.