Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan alias Kemenkeu memberi sinyal bahwa pemerintah akan kembali memberi insentif fiskal pada Semester II/2025 atau sisa tahun ini.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa pemerintah sudah menetapkan outlook defisit anggaran pada akhir tahun sebesar 2,78% dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu melebar dari target defisit APBN 2025 sebesar 2,53% dari PDB.
"Banyak sekali belanja pemerintah yang harus dieksekusi dengan lebih cepat. Jadi strategi pertama yang terutama adalah pemerintah harus mempercepat belanja," ujar Febrio ketika ditanya soal potensi adanya insentif fiskal kembali pada sisa tahun, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
Dia menjelaskan pemerintah harus merealisasi program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto itu dalam waktu dekat agar target belanja pemerintah pusat tercapai dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh sebab itu, Febrio meyakini perekonomian akan tumbuh lebih tinggi pada semester II/2025. Apalagi, sambungnya, Amerika Serikat (AS) sudah menurunkan tarif impor barang asal Indonesia dari 32% menjadi 19%.
"Kalau tadinya kita sudah terancam dengan pertumbuhan yang cukup lemah di 4,7%, dengan tarif yang lebih baik ini kita melihat pertumbuhan ekonomi bisa rebound di atas 5% untuk paruh kedua," katanya.
Baca Juga
Adapun, pada bulan lalu, pemerintah sudah mengumumkan lima paket kebijakan stimulus ekonomi. Hanya saja, paket insentif fiskal itu berakhir pada bulan ini.
Lima paket kebijakan itu yaitu subsidi transportasi umum selama libur sekolah dengan anggaran Rp0,94 triliun; diskon tarif tol sebesar 20% untuk 110 juta kendaraan, dengan anggaran Rp0,65 triliun dari sumber non-APBN; bantuan pangan dan Kartu Sembako, yaitu tambahan dana sebesar Rp200.000 per bulan dan bantuan beras 10 kilogram per bulan untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat KPM pada Juni dan Juli 2025, dengan total anggaran Rp11,93 triliun.
Kemudian bantuan subsidi upah BSU senilai Rp300.000 per bulan selama dua bulan untuk 17,3 juta pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta dan 288 ribu guru honorer dengan total anggaran mencapai Rp10,72 triliun; dan terakhir diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja JKK sebesar 50 persen selama enam bulan untuk pekerja sektor padat karya, dengan anggaran Rp0,2 triliun dari dana non-APBN.
Pengusaha Minta Insentif
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong pemerintah untuk kembali memberikan insentif fiskal bagi sektor industri padat karya. Dorongan itu muncul di tengah tekanan ekonomi global akibat kebijakan dagang AS yang dinilai semakin menekan daya saing industri dalam negeri, terutama padat karya seperti tekstil.
Shinta mengatakan pihaknya telah menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah. Saat ini, sambungnya, pelaku usaha tengah menjajaki komunikasi intensif untuk menyusun usulan insentif yang lebih konkret.
“Kami memang ada permohonan untuk beberapa insentif fiskal, terutama untuk industri padat karya yang saat ini sangat tertekan,” ujar Shinta saat ditemui usai Peluncuran Taxpayers' Charter di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2025).
Dia menyinggung keberhasilan pemerintah dalam menyalurkan stimulus fiskal selama pandemi Covid-19 yang terbukti mampu menopang pelaku usaha di masa krisis. Menurutnya, pendekatan serupa perlu dipertimbangkan ulang seiring meningkatnya tekanan eksternal terhadap sejumlah sektor strategis.
Lebih lanjut, Shinta mengungkapkan bahwa Apindo masih menghitung dampak lanjutan dari kebijakan dagang Amerika Serikat (AS), khususnya usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor 19% ke produk asal Indonesia.
Pihaknya masih menunggu pengumuman tarif baru AS untuk negara-negara lain sebelum berlaku penuh pada 1 Agustus 2025. Dengan begitu, dampaknya ke industri Indonesia terutama terkait daya saing dengan negara lain bisa dipastikan.
“Ini semua hitung-hitungannya kan harus kita perhatikan, bagaimana itu berdampak kepada industrinya, dari situ baru kita minta lebih detail lagi mengenai insentif,” jelasnya.