Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mengumumkan penurunan tarif resiprokal AS dari 32% menjadi 19% sebagai kemenangan diplomatik yang membanggakan.
Namun, di balik kemenangan tersebut terdapat realitas yang mengkhawatirkan: Indonesia harus menghapus 99% hambatan tarif untuk produk AS ditambah komitmen pembelian barang termasuk produk pertanian. Kesepakatan ini menjadi pertaruhan masa depan pertanian Indonesia.
Dalam Agreement on Reciprocal Trade Indonesia-AS, Indonesia harus menghapus sekitar 99% hambatan tarif untuk seluruh produk industri dan pertanian AS yang diekspor ke Indonesia, sementara AS hanya menurunkan tarif resiprokal menjadi 19% untuk produk Indonesia.
Tarif 19% ini pun masih lebih tinggi untuk beberapa produk seperti tekstil karena tarif dasarnya sudah 11% ditambah tarif resiprokal 19%. Sehingga tarif produk tekstil dapat meningkat hingga 30%. Tak hanya itu, Indonesia menghadapi penghapusan sistematis instrumen proteksi ekonomi domestik. Pemerintah harus menghapus kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk perusahaan dan produk AS.
Indonesia harus mengakui sertifikat FDA untuk perangkat medis dan farmasi tanpa proses verifikasi independen. Yang paling mengkhawatirkan adalah keharusan Indonesia mengecualikan produk pangan dan pertanian AS dari berbagai persyaratan protektif.
Tidak sampai di situ, Indonesia terikat komitmen pembelian masif: US$3,2 miliar untuk pengadaan pesawat, US$4,5 miliar untuk produk pertanian, dan US$15 miliar untuk energi yang akan menguras cadangan devisa nasional.
Baca Juga
Kontras dengan Vietnam yang berhasil memperoleh kesepakatan yang jauh lebih menguntungkan: tarif 0% untuk produk yang diekspor ke Vietnam, pengenaan tarif 40% untuk produk “trans-shipment” melalui Vietnam, dan akses produk industri mobil AS. Vietnam tidak ada komitmen pembelian produk AS seperti yang dipaksakan kepada Indonesia. Vietnam menguasai 29% pangsa pasar ekspornya ke AS, sementara Indonesia hanya 10%.
Dalam konteks ini, pertanyaan kritis muncul: apakah layak secara sosial ekonomi memperjuangkan pangsa pasar yang relatif kecil dengan mengorbankan begitu banyak sektor strategis? Transparansi dalam perhitungan cost-benefit yang komprehensif menjadi kebutuhan mendesak. Publik berhak mengetahui validasi proporsionalitas antara pengorbanan besar yang dilakukan dengan manfaat terbatas yang diperoleh.
ANCAMAN SISTEMIK
Komitmen pembelian produk pertanian AS datang pada waktu yang tidak tepat di saat kinerja sektor pertanian mulai menunjukkan perbaikan. Sektor pertanian tumbuh 10,52% pada kuartal I/2025 (YoY). Nilai Tukar Petani membaik signifikan setelah dua dekade mengalami kemunduran.
Komitmen pembelian beberapa komoditas seperti kedelai, jagung, gandum, katun, dan produk susu dari AS akan memaksa Indonesia mengalihkan pola impor dari supplier tradisional yang bisa menawarkan harga yang lebih baik.
Sebagai contoh, jagung dari Argentina tersedia dengan harga US$193/MT sementara dari AS US$194/MT. Gandum dari Rusia hanya US$228/MT sementara dari AS US$233/MT. Kedelai dari Argentina US$405/MT dibandingkan AS US$418/MT.
Indonesia akan membayar relatif lebih mahal untuk produk-produk yang sebenarnya tersedia dengan harga lebih kompetitif di pasar global.
Selain itu, Indonesia wajib memberikan status permanen Fresh Food of Plant Origin (FFPO) untuk semua produk tanaman AS dan mengakui otoritas regulasi AS tanpa syarat, termasuk automatic listing untuk semua fasilitas daging, unggas, dan susu AS. Kebijakan ini berpotensi membuka pintu bagi membanjirnya produk pertanian AS yang dapat menghancurkan struktur pasar domestik.
Menghadapi realitas pahit ini, pemerintah harus segera menyusun strategi damage control yang komprehensif dan terukur. Optimalisasi penyerapan produksi lokal melalui Bulog perlu diperluas dengan menambah cakupan komoditas selain beras, yakni jagung dan daging ayam.
Pemerintah juga harus memberikan subsidi kepada pelaku industri agar menggunakan bahan baku domestik, seperti subsidi jagung untuk pakan ternak bagi peternak skala kecil yang memberikan manfaat ganda bagi petani jagung dan peternak.
Percepatan penghiliran komoditas pertanian menjadi produk bernilai tambah melalui terbangunnya linkage antara petani/peternak dan industri menengah-besar untuk meningkatkan daya saing.
Modernisasi teknologi di produksi, pascapanen dan pengolahan akan membantu menghadapi gempuran produk impor AS yang akan membanjiri pasar domestik. Strategi ini harus dibarengi dengan komitmen pemerintah untuk tetap melindungi sektor pertanian meski akan ada kritik bahwa hal ini merugikan konsumen dan industri yang bisa memperoleh produk impor lebih murah.
Proteksi terhadap petani & peternak tetap krusial karena ketika mereka tidak mau menanam lagi akibat kalah bersaing dengan impor murah, produksi turun sementara kebutuhan meningkatkan jadinya ketergantungan impor makin tinggi.
Kondisi ini akan membuat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak geopolitik dan melemahkan bargaining position dalam negosiasi perdagangan masa depan. Pemerintah harus tetap berkomitmen untuk swasembada pangan sebagai fondasi ketahanan ekonomi yang tidak dapat ditawar lagi.