Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah mendapat pujian kalangan ekonom.
Sejumlah ekonom mengapresiasi strategi pemerintah menerapkan ekspansi fiskal dengan mendorong belanja pemerintah yang dinilai terbukti efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2016.
Meski begitu, di sisi lain para ekonom khawatir pemangkasan anggaran belanja dapat memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Ekonom Senior Kenta Institute Eric Sugandi di Jakarta, Minggu (7/8/2016), mengatakan, strategi counter cyclical pemerintah guna menggenjot pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat dengan menggenjot belanja pemerintah bisa dibilang efektif.
"Untuk kuartal II-2016, kelihatanya strategi counter cyclical melalui pengeluaran pemerintah dan menjaga daya beli masyarakat untuk mendorong konsumsi, selain juga karena ada faktor konsumsi musiman (seasonal consumption) selama Ramadan, cukup efektif mendorong pertumbuhan," kata Eric.
Selama triwulan II-2016, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,18% dari triwulan II-2015 sebesar 4,66%, berkat lonjakan ekspansi belanja pemerintah yang naik dari 2,61 persen pada triwulan I menjadi 6,28% di mana nilai belanjanya naik dari Rp 384,74 triliun menjadi Rp 474,28 triliun.
Apresiasi juga datang dari Ekonom FE UI Telisa Aulia Falianty yang menjelaskan bahwa ekspansi fiskal yang dilakukan pemerintah adalah dengan menggenjot infrastruktur. Dia menilai belanja pemerintah tersebut juga memerlukan kepastian hukum. Pasalnya jika kepastian hukumnya tidak dijalankan, maka sama saja tidak berguna.
"Jika punglinya banyak dan sulit mendapatkan izin, ya itu sama saja," tegas dia.
Terkait pemangkasan anggaran di tengah sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang belum terlihat, Eric Sugandi dan Telisa Falianty menilai akan ada pengaruh negatif bagi pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Mereka khawatir pemotongan belanja dengan berdalih untuk menjaga kredibilitas fiskal akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Apalagi Indonesia termasuk sedikit dari negara yang menjaga keseimbangan defisit fiskal di bawah 3 persen dibandingkan negara lain yang dapat secara leluasa menggunakan instrumen fiskal untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti Malaysia yang memiliki defisit fiskal 3,7%, India senantiasa di atas 3,7%, Jepang minus 6,2%.
"Walau ada pengaruh negatif ke pertumbuhan ekonomi (ceteris paribus), pemotongan belanja pemerintah memang harus dilakukan untuk menjaga defisit total APBN dan APBD tidak melebihi 3% dari PDB nominal sesuai undang-undang keuangan negara. Kita masih menunggu hasil tax amnesty, lebih baik tidak ambil risiko dengan tidak melakukan pemotongan belanja pemerintah," jelas Eric.
Untuk menerapkan strategi ekspansi fiskal, Eric menilai, pemerintah harus melihat kondisi terlebih dahulu defisit APBNP-nya.
"Belum ada jaminan target tambahan penerimaan pemerintah dari tax amnesty yang Rp165 triliun pasti tercapai. Kebijakan pemerintah sudah cukup ekspansif di kuartal II 2016 tapi perlu juga lihat kondisi defisit APBNP," tambah Eric.
Sedangkan Telisa melihat pemangkasan anggaran belanja akan jadi faktor pengurang pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tapi diharapkan ada penyesuaian di dalam jangka panjangnya, ketika pertumbuhan ekonomi itu sudah terlihat.
Dampak jangka pendek dari pemangkasan belanja pemerintah, lanjut Telisa, bisa mengurangi konsumsi masyarakat dan bisa mengurangi kegiatan ekonomi Indonesia.
Selain itu, momentum amnesti pajak diharapkannya mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Menurutnya, pemerintah seharusnya menerapkan strategi ekspansi fiskal.
"Harusnya iya, tapi ekspansi fiskal yang tepat, maksudnya tepat ya sektor-sektor yang produktif pada wujud pertumbuhan perekonomian," katanya.