Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pendapatan Gazprom Rusia Masih Sama dengan Tahun Lalu Sekalipun Pasokan Turun

Raksasa gas milik Rusia, Gazprom PJSC diperkirakan masih bisa meraup 100 juta euro atau sekitar US$105 juta per hari dari ekspor ke Eropa sejalan dengan level tahun lalu.
Jaringan pipa gas/Bloomberg
Jaringan pipa gas/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Pendapatan ekspor gas alam Rusia tahun ini kemungkinan sama dengan tahun lalu sebelum perang pecah di Ukraina, meskipun beberapa konsumen utama sudah menjauhi produknya.

Dilansir Bloomberg pada Kamis (23/6/2022), lonjakan harga gas telah menguntungkan Moskow, meskipun Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi berat kepada negara itu.

Raksasa gas milik negara Gazprom PJSC diperkirakan masih bisa meraup 100 juta euro atau sekitar US$105 juta per hari dari ekspor ke Eropa sejalan dengan level tahun lalu, menurut Independent Commodity Intelligence Services.

"Mengejutkan melihat bahwa, meskipun ada pengurangan 75 persen dalam pasokan harian oleh Gazprom ke Eropa, penerimaan harian masih sesuai dengan tahun lalu, dan tentu saja lebih tinggi dari masa sebelum Covid,” kata Kepala Analisis Gas ICIS di London Tom Marzec-Manser.

Pendapatan gas pada beberapa bulan terakhir sudah sangat tinggi dengan total sekitar 35 miliar euro sejak perang pecah.

Harga gas berjangka Eropa naik empat kali lipat dari level Juni lalu. Harga naik 16 persen pada pekan ini setelah Gazprom memotong aliran pipa utama Nord Stream.

Sementara itu, Jerman mengklaim pemangkasan aliran itu dilakukan karena alasan politik dan ingin mengguncang pasar.

Jerman telah bergantung pada pasokan energi dari Rusia hingga sepertiga kebutuhan nasional. Pemangkasan gas oleh Putin akan meningkatkan risiko darurat gas Jerman.

Chief Executive Officer Gazprom Alexey Miller mengkonfirmasi pekan lalu bahwa perusahaan diuntungkan dari meroketnya harga di Eropa, meskipun volume lebih rendah.

Pada paruh pertama Juni, pengiriman harian rata-rata Gazprom di luar Rusia, termasuk ke sebagian besar negara Uni Eropa dan Turki, turun ke level terendah setidaknya sejak 2014.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nindya Aldila
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper