Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra pada pekan lalu resmi membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pembatalan ini setelah sebuah proposal dari menteri keuangan untuk melipatgandakan pungutan pajak tersebut menuai kritik dari pihak oposisi dan seorang anggota kunci dari koalisi yang berkuasa.
Melansir dari Bloomberg, PPN yang semula direncanakan naik dari 7% ke 15% batal usai mendiskusikan masalah ini dengan Menteri Keuangan Pichai Chunhavajira dan Dewan Penasihat Kebijakannya.
Pichai mengatakan pihaknya sedang mempelajari perubahan-perubahan pada struktur pajak yang ada dalam sebuah tinjauan komprehensif yang bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan dan meningkatkan daya saing negara.
Sementara Paeotongtarn menyebutkan dalam peninjauan seperti itu sering memakan waktu lama dan beberapa negara membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk mengubah tarif pajak. Pemerintahannya berfokus pada kebijakan-kebijakan untuk mengurangi biaya hidup, menciptakan jalur-jalur pendapatan baru dan meningkatkan efisiensi sektor publik.
Klarifikasi Paetongtarn ini muncul beberapa hari setelah Pichai memperdebatkan gagasan untuk menaikkan pajak konsumsi menjadi 15% dari 7% saat ini untuk mengatasi ketidaksetaraan pendapatan dan memobilisasi dana untuk investasi publik untuk mendorong perekonomian yang lesu.
Thailand telah mempertahankan PPN pada tingkat 7% sejak 1999 alias sepanjang 26 tahun, meskipun beberapa pemerintah di masa lalu telah mendiskusikan untuk menaikkan pungutan ini menjadi 10%. Negara tetangga Indonesia berencana menaikkan PPN menjadi 12% dari 11% mulai tahun depan.
Baca Juga
Rencana untuk menaikkan pungutan atas barang dan jasa dikecam oleh Partai Rakyat yang beroposisi, yang meminta pemerintah untuk mempelajari implikasi-implikasinya sebelum mengajukan reformasi pajak secara spesifik.
United Thai Nation, sebuah partai yang didukung militer dalam koalisi yang berkuasa, juga menentang upaya untuk menaikkan PPN, dengan mengatakan bahwa hal ini akan meningkatkan harga barang dan jasa dan merugikan masyarakat miskin.
Pichai juga menganjurkan pemangkasan tarif pajak penghasilan menjadi 15% dari tarif puncak 35% saat ini untuk memposisikan Thailand sebagai tujuan yang kompetitif untuk investasi asing. Negara ini, yang merupakan kandidat untuk bergabung dengan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), berencana untuk menerapkan tarif pajak minimum global sebesar 15% mulai tahun depan.
Rasio pajak terhadap PDB Thailand kurang lebih stagnan di kisaran 17% sejak tahun 2007, di bawah rata-rata Asia dan Pasifik yang mencapai 19% dan 34% untuk negara-negara anggota OECD, menurut organisasi tersebut. Perkiraan OECD, PPN Thailand menyumbang sekitar 25% dari total pengumpulan pajak Thailand pada 2022.
Sama halnya dengan Thailand, pemerintah Vietnam juga resmi memperpanjang kebijakan pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 8% hingga akhir Juni 2025 mendatang—yang semula berakhir pada 31 Desember 2024.
Dalam resolusi tersebut, barang dan jasa yang dikenakan tarif pajak 10% akan terus menikmati tarif 8% selama enam bulan ke depan. Pengurangan PPN akan berlaku secara seragam di semua tahap—impor, manufaktur, pemrosesan, dan perdagangan—untuk barang dan jasa yang memenuhi syarat.
Adapun, pengurangan PPN tidak berlaku untuk real estat, sekuritas, perbankan, telekomunikasi, informasi dan teknologi, batu bara, bahan kimia, serta produk dan jasa yang dikenakan pajak konsumsi khusus.
Berbeda dengan negara tetangga yang tetap menahan tarif PPN rendah bahkan di bawah 10%, Indonesia justru tidak berniat untuk menunda maupun membatalkan rencana PPN 12% per Januari 2025.
Meski muncul keluhan dari berbagai pihak, Presiden Prabowo memastikan pajak pertambahan nilai mulai awal tahun depan. Meski demikian, Presiden menyebutkan PPN tidak akan memberatkan masyarakat kecil karena akan mengecualikan sejumlah barang kehidupan masyarakat.