Bisnis.com, JAKARTA – Industri manufaktur awal tahun 2025 dihadapi sejumlah tantangan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% hingga dikereknya Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi 6,5%. Dari dua hal tersebut, ekonom menilai yang paling memberatkan industri adalah kenaikan UMP.
Ekonom Senior, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan kenaikan upah minimum lebih besar memengaruhi kenaikan ongkos produksi industri yang selama ini dinilai terlampau tinggi.
“Kalau dibandingin antara PPN sama UMP. Saya tuh lebih takut sama UMP. Kenapa? PPN itu 1% itu buat barang premium Itu end product. Buat input produksi enggak terlalu berdampak,” kata Fithra, dikutip Sabtu (28/12/2024).
Terlebih, Fithra menyebut bahwa pelaku usaha hanya memperkirakan kenaikan upah dikisaran 4,5% namun pemerintah menaikkan hingga 6,5% tahun depan.
Dalam hal ini, dia pun melihat tak heran jika Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur RI terus mengalami kontraksi, salah satunya dikarenakan tekanan ongkos produksi.
Menurut dia, dampak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan menjadi 12%, diprediksi dapat memberikan dampak langsung terhadap daya beli masyarakat.
Baca Juga
“PPN yang naik membuat daya beli masyarakat menurun, dan ketika daya beli menurun, demand terhadap produk-produk industri bisa turun pula. Hal ini akan berdampak pada lesunya pasar produk industri lokal yang tengah berkembang,” ujarnya.
Penyesuaian PPN telah memberatkan beban industri lokal, mengurangi daya saing mereka dalam pasar yang sangat kompetitif.
Kenaikan PPN sebesar satu persen memiliki dampak terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, sedangkan kaum kelas atas tidak terlalu merasakan beban tersebut.
Kendati demikian, dia melihat pemerintah terbuka terhadap kemungkinan penambahan stimulus atau bahkan pembatalan kenaikan PPN setelah evaluasi yang akan dilakukan dalam tiga bulan ke depan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakri, mengatakan bahwa kenaikan upah minimum 2025 melampaui prediksi banyak pelaku industri alas kaki dan menambah beban bagi produsen sepatu dalam negeri.
“Kenaikan UMP 6,5% itu aja sudah di luar perkiraan semua pelaku industri. Apalagi itu masih belum ditambah kenaikan upah sektoral yang dilepas tanpa diatur oleh kementerian secara lebih detail,” kata Firman kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Firman mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada informasi mengenai insentif atau kebijakan pemerintah yang dapat mengurangi dampak kenaikan UMP terhadap industri alas kaki.
Kenaikan UMP yang cukup signifikan dipandang dapat menurunkan daya saing produsen sepatu Indonesia, terutama yang berfokus pada pasar ekspor.
“Kenaikan ini berdampak pada kepastian hukum, daya tahan dan daya saing perusahaan,” jelasnya.