Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 (Inpres 1/2025) menerapkan “shock therapy” melalui kebijakan efisiensi belanja negara, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda).
Tak tanggung-tanggung, jumlah belanja yang akan dihemat di 2025 ini mencapai Rp306,7 triliun. Konon, kebijakan efisiensi anggaran tersebut akan berlanjut pada 2026 dan 2027 dengan jumlah penghematan yang relatif sama yaitu sekitar Rp300 triliun per tahun.
Menariknya, belanja negara yang dihemat bukan berasal dari anggaran non-kementerian/lembaga (K/L) seperti subsidi dan kompensasi energi yang dalam 4 tahun terakhir (2021—2024) rata-rata mencapai Rp319 triliun per tahun. Belanja negara yang dihemat berasal dari dua pos yaitu (i) belanja (K/L) sebesar Rp256,1 triliun dan (ii) transfer ke daerah sebesar Rp50,6 triliun.
Dengan kata lain, lingkup penghematan hanya mencakup belanja yang dikelola K/L maupun pemda baik belanja operasional (termasuk belanja barang) maupun belanja modal (belanja infrastruktur).
KAPASITAS IMPLEMENTASI
Terdapat beberapa catatan terkait dengan kebijakan penghematan ini. Pertama, kapasitas implementasinya terutama eksekusinya di tingkat operasional. Nilai penghematan lebih dari Rp300 triliun merupakan angka signifikan, sehingga terasa sekali sebagai “shock therapy”. Kebijakan efisiensi adalah hal yang positif. Namun, bila eksekusinya tidak tepat juga berpotensi dapat menimbulkan gangguan pada operasional pemerintah.
Belum lama ini, muncul kisruh akibat perubahan sistem tata niaga LPG bersubsidi (3 kg). Tujuan perubahan sistem tata niaga LPG sebenarnya positif. Perubahan sistem pembelian LPG 3 kg dari pengecer ke pangkalan bertujuan agar masyarakat memperoleh LPG pada harga yang lebih rendah sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET).
Namun, karena persiapannya kurang, perubahan tersebut justru menimbulkan kekacauan di masyarakat. Dengan kata lain, agar kebijakan penghematan ini sesuai dengan ekspektasi maka perlu dipersiapkan dengan baik seluruh perangkat implementasinya.
Kedua, terkait dengan realokasi penggunaannya. Penghematan berarti pengurangan belanja pada pos belanja saat ini (existing). Secara teori, penghematan akan meningkatkan tabungan pemerintah (government saving).
Selanjutnya, peningkatan tabungan pemerintah dapat dipergunakan untuk program lainnya. Pertama, mendanai program prioritas lainnya seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Atau, kedua, memperbaiki posisi Keseimbangan Primer (primary balance) APBN dan defisit APBN (fiscal deficit).
Sejumlah kalangan menilai kebijakan penghematan ini berpotensi menggangu pertumbuhan ekonomi. Argumentasinya, penghematan akan menurunkan konsumsi pemerintah dan memberikan multiplier effect berupa penurunan aktivitas ekonomi yang didorong oleh konsumsi pemerintah.
Penghematan sudah tentu akan memberikan dampak terhadap sejumlah aktivitas ekonomi. Mengacu pada Inpres 1/2025, pengurangan belanja perjalanan dinas hingga 50% misalnya, diperkirakan dapat memengaruhi pertumbuhan sektor penyediaan akomodasi seperti perhotelan. Namun, sejauh mana penghematan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, tentunya akan ditentukan strategi realokasinya.
Dalam praktiknya, penghematan belanja pemerintah tidak selalu berimplikasi pada penurunan belanja negara secara total. Seringkali yang terjadi adalah penghematan juga diikuti dengan realokasi, baik sebagian atau bahkan seluruhnya.
Contohnya adalah penghematan belanja subsidi energi akibat rendahnya harga minyak mentah pada 2015. Penghematan subsidi energi, sebagian direalokasikan untuk mendanai program lainnya seperti menambah belanja subsidi KUR, subsidi pertanian dan belanja modal.
PENGHEMATAN & PERTUMBUHAN EKONOMI
Penulis berpendapat bahwa kebijakan penghematan setidaknya harus memenuhi tiga kriteria agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi. Pertama, penghematan adalah dalam rangka mengurangi inefisiensi anggaran. Dalam berbagai kesempatan, Presiden RI Prabowo Subianto sering sekali menyebut masalah kebocoran dan inefisiensi anggaran.
Dengan kata lain, kebijakan penghematan saat ini adalah dalam rangka mengurangi inefisiensi tersebut. Dengan demikian, semestinya kebijakan penghematan tidak mengurangi efektivitas anggaran bagi pertumbuhan ekonomi.
Kedua, realokasinya harus tepat yaitu diarahkan kepada program yang memberikan multiplier effect lebih tinggi bagi perekonomian. Program penghematan belanja di 2015 dapat menjadi pelajaran berharga. Penghematan belanja yang berasal dari pengurangan subsidi energi ternyata tidak cukup membantu menjaga pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi hanya 4,88%, terendah dalam 10 tahun terakhir (di luar saat pandemi Covid-19). Penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di 2015 adalah rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Belajar dari pengalaman di 2015, terlalu riskan bila kebijakan penghematan menyentuh belanja yang terkait dengan konsumsi rumah tangga.
Ketiga, kebijakan penghematan tetap harus menjaga semangat APBN yang ekspansif. Kebijakan penghematan berpotensi memperbaiki government saving dan primary balance APBN. Ini penting agar tekanan utang terhadap APBN berkurang.
Namun, penulis berpendapat bahwa pemerintah tetap perlu menjaga kebijakan fiscal deficit agar semangat APBN yang ekspansif tetap terjaga. Melalui kebijakan penghematan, pemerintah memiliki peluang untuk merealokasi dana yang berasal dari pos Pembiayaan APBN (fiscal financing).
Pemerintah dapat merealokasi dana dari pos Pembiayaan untuk memperbesar investasi pemerintah melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Saat ini, pemerintah memiliki empat agenda strategis: pangan, energi, air dan perumahan.
Melalui kebijakan penghematan, pemerintah memiliki peluang untuk meningkatkan kapasitas keuangan BUMN terkait melalui peningkatan PMN yang berasal dari realokasi dana pada pos Pembiayaan. Peningkatan PMN kepada BUMN akan meningkatkan leveraging BUMN dalam memperoleh pendanaan eksternal (utang) untuk membiayai investasinya.
Penulis melihat bahwa kebijakan penghematan juga memiliki perspektif fiskal lain yang tidak kalah pentingnya bagi pertumbuhan ekonomi. Penghematan belanja dapat mengurangi tekanan terhadap defisit fiskal.
Defisit fiskal turun, utang baru pemerintah juga berpotensi turun. Bagi swasta, turunnya utang baru pemerintah sebenarnya merupakan kabar baik. Diakui atau tidak, tingginya utang baru pemerintah selama ini telah mengganggu kegiatan investasi swasta.
Tingginya utang baru pemerintah menimbulkan crowding out yang berdampak pada lesunya kegiatan fundraising swasta melalui penerbitan surat utang. Dengan kata lain, kebijakan penghematan sebenarnya juga memiliki relasi positif bagi peningkatan sumber pertumbuhan ekonomi yang berasal dari investasi swasta.
Dapat digaris bawahi bahwa kebijakan penghematan atau efisiensi belanja negara ini memiliki dimensi luas. Pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi akan ditentukan melalui strategi realokasinya.
Kebijakan penghematan berpotensi dapat memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan. Kuncinya adalah, pertama, pertumbuhan konsumsi rumah tangga harus dijaga. Kedua, terjadinya peningkatan pertumbuhan investasi dari korporasi baik dari swasta maupun BUMN. Bila kedua hal ini tidak terjadi, kita memang patut khawatir bahwa penghematan akan berpengaruh negatif bagi pertumbuhan ekonomi.