Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi di berbagai sektor. Kondisi ini disebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara tetangga lainnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), korban PHK mencapai 24.036 orang per 23 April 2025. Sementara bila melihat trennya pada awal tahun, per Februari 2025, telah terjadi PHK kepada sebanyak 18.610 pekerja. Angka tersebut meningkat hampir enam kali lipat dari Januari 2025 dengan jumlah PHK mencapai 3.325 pekerja.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan, ada berbagai faktor yang menyebabkan tren PHK terus meningkat di berbagai negara, mulai dari permintaan global yang melemah dan dampak berkelanjutan pascapademi, serta perang geopolitik.
"Tidak hanya di Indonesia, di negara lain juga terjadi PHK. Misalnya, di Singapura, salah satu bank besar di sana berencana melakukan PHK 5.000 orang," kata Bob kepada wartawan, dikutip Minggu (11/5/2025).
Salah satu contoh rencana PHK yang akan terjadi 5 tahun ke depan tersebut merupakan imbas dari transformasi digital. Dia juga menyoroti di berbagai sektor lainnya yang mengalami polemik serupa dan menggerus tenaga kerja.
Menurut Bob, mestinya dari kondisi badai PHK tersebut yang harus segera diantisipasi yakni membludaknya pasar kerja tanpa lapangan pekerjaan yang memadai.
Baca Juga
"Tahun ini, misalnya, kurang lebih ada hampir 3 juta lapangan kerja yang terbuka, tapi yang masuk pasar kerja ada 4 juta, ditambah lagi yang PHK. Jadi, itu memang tantangan besar," ujarnya.
Bob menilai kondisi serupa jug terjadi di berbagai negara lainnya. Kendati demikian, sejumlah negara masih mendapat dukungan berupa insentif dari pemerintahnya untuk memulihkan kinerja industri dan ekonomi secara keseluruhuan.
Di Indonesia, pemerintah memberikan insentif agar ekonomi bergerak. Namun, insentif perpajakan tersebut hanya berlaku hingga 2023. Menurut dia, stimulus yang diberikan tidak berkelanjutan.
"Kita bandingkan dengan Malaysia dia kasih insentif terus-menerus, setelah pandemi itu enggak disetop, masih terus. Jadi memang harus panjang sehingga perusahaan itu recovery dan bisa survive, insentif seperti pajak impor, PPN DTP, dan lainnya," terangnya.