Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan sumber keuntungan senilai Rp1 miliar yang bisa diraup setiap Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih dalam satu tahun. Secara total, nantinya 80.000 KopDes Merah Putih diperkirakan meraup untung sekitar Rp80 triliun per tahun.
Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mempertanyakan model bisnis seperti apa yang dianut KopDes Merah Putih sehingga bisa meraup untung hingga Rp1 miliar per desa per tahun.
“Apalagi bapak ngomong di berita, bahwa bisnis model ini [KopDes Merah Putih] bisa untung minimal Rp1 miliar dengan monopoli. Bisnis apa yang sekarang Rp1 miliar dari [modal awal] Rp3 miliar dan Rp5 miliar, Pak? [Untung] 20%, Pak,” kata Darmadi dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VI dengan Menteri Koperasi di Kompleks Senayan DPR, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Politisi dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menilai hampir tidak ada bisnis yang bisa meraup untung hingga 20% dari modal yang diberikan. Dia meminta agar Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi memperjelas model bisnis dari KopDes.
“Bisnis apa yang bisa [untung] 20%, kalau bisnis judol [judi online] bisa 50%, Pak. Ini bisnis sembako, gerai, klinik, itu homogen semua,” ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, hanya sekitar 26 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berhasil meraup untung di atas Rp1 miliar, dengan sektor yang bergerak di bidang keuangan (56%), perdagangan dan jasa (40%), dan ketahanan pangan (4%).
Baca Juga
“Kita ambil contoh BUMDes saja, 67.333 BUMDes tidak bisa bagi hasil, nol. Nanti KopDes Merah Putih ini bagaimana?” tanyanya.
Menanggapi hal itu, Menkop Budi Arie menjelaskan sumber keuntungan senilai Rp1 miliar yang bisa dikantongi KopDes Merah Putih. Merujuk pada data milik Kementerian Pertanian (Kementan), kata Budi, para tengkulak alias middle man bisa mengantongi nilai hingga Rp300 triliun.
“Jadi ketika saya bilang Rp1 miliar per desa ini untung, hitungannya begini, kalau dari Rp300 triliun itu kami pangkas 30% saja itu sudah Rp90 triliun, dari efisiensi jalur distribusi yang kita bisa ciptakan [dengan memotong tengkulak],” jelas Budi.
Selain itu, nantinya dari pupuk bersubsidi bisa mengantongi Rp43 triliun. Sebab, harga pupuk dari pabrik hanya dibanderol Rp2.300 per kilogram dan ditambah biaya logistik sekitar Rp300–Rp400, sehingga semestinya harga yang dijual di pasar adalah di kisaran Rp2.600–Rp2.700 per kilogram.
Sayangnya, Budi menyebut bahwa kondisi yang terjadi saat ini, harga pupuk bersubsidi yang diterima adalah Rp4.800 per kilogram.
“Deltanya terlalu besar, dan itu sangat merugikan buat masy rakyat atau petani pupuk bersubsidi. Dari pupuk saja kita sudah hitung berapa potensi yang bisa kita selamatkan, kita buat ringkas sehingga masyarakat bisa menerima manfaat dari subsidi,” terangnya.
Sumber keuntungan lainnya berasal dari dengan menjadi agen LPG, yang diperkirakan bisa mencapai Rp100 triliun. Dia menekankan bahwa ide dari KopDes sejatinya agar barang yang disubsidi negara bisa berjalan efektif dan efisien
“Jangan sampai negara sudah mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk subsidi ternyata tidak dinikmati oleh masyarakat. Pupuk masih dibeli dengan mahal, LPG dibeli dengan harga market padahal negara sudah subsidi,” imbuhnya.
Dia menjelaskan bahwa barang bersubsidi sejatinya sudah menajdi barang publik, sebab sudah ada intervensi negara untuk mensubsidi komoditas. Untuk itu, sambung dia, penyalur atau distributor barang publik harus lembaga milik publik alias koperasi.
Perihal monopoli, Budi Arie menyatakan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan (UU 5/1999), koperasi diperbolehkan untuk melakukan praktik monopoli.
“Kenapa boleh monopoli? Karena koperasi milik orang banyak, bukan milik 1–2 orang. Sampai sekarang UU kita masih memperbolehkan koperasi melakukan monopoli, UU 5/1999 pasal 50,” pungkasnya.