Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan memastikan bahwa kementerian/lembaga akan mengurangi rapat di hotel pada tahun depan, setelah adanya penghapusan uang saku harian untuk kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor mulai 2026.
Penghapusan uang saku harian untuk kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33/2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026.
Direktur Sistem Penganggaran Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Lisbon Sirait menjelaskan bahwa selama ini ada biaya pemberian uang saku atau uang harian untuk kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor.
Biaya tersebut dibagi tiga berdasarkan lama rapat/pertemuannya, yaitu paket paling singkat 5 jam tanpa menginap (halfday), paket paling singkat 8 jam tanpa menginap (fullday), dan sehari penuh dan menginap (fullboard).
Pada 2025, Lisbon mengungkapkan Kemenkeu sudah menghapus uang saku biaya rapat di luar kantor untuk paket halfday. Kini untuk 2026, Kemenkeu kembali menghapus uang saku biaya rapat di luar kantor untuk paket fullday sehingga pemberian uang saku hanya untuk paket fullboard.
"Rapat-rapat di hotel akan berkurang karena anggarannya berkurang," ujar Lisbon dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Senin (2/6/2025).
Baca Juga
Sebagai perbandingan, pada tahun ini Kemenkeu menetapkan standar biaya uang saku rapat di luar kantor untuk paket fullday sebesar Rp95.000 per orang per hari dan paket fullboard sebesar Rp130.000 per orang per hari.
Sementara untuk tahun depan, Kemenkeu menerapkan standar biaya uang saku rapat di luar kantor hanya untuk paket fullboard sebesar Rp130.000 per orang per hari—sedangkan uang saku untuk paket fullday sudah dihapus.
Lisbon pun menegaskan bahwa kementerian/lembaga (K/L/) tidak mesti melaksanakan tugas-tugasnya di luar kantor. K/L, sambungnya, bisa mengoptimalkan perkembangan teknologi seperti aplikasi Zoom Meeting untuk mengadakan rapat daring (online).
Lisbon meyakini optimalisasi teknologi bisa mengurangi beban biaya belanja barang K/L tanpa mengorbankan hasil (output) dari kegiatan.
"Sudah banyak kegiatan-kegiatan yang selama ini biasanya di hotel kita laksanakan di kantor tetapi output-nya tetap tercapai," jelasnya.
Dia tidak menampik bahwa belakangan terjadi penurunan aktivitas di hotel karena kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Kendati demikian, Lisbon mengklaim industri perhotelan akan kembali bangkit melalui insentif ekonomi yang akan diterapkan pemerintah.
"Pemerintah saat ini melakukan efisiensi terhadap aktivitas itu memang punya dampak terhadap perhotelan atau kegiatan-kegiatan lain yang terkait, tapi pemerintah punya kebijakan lain untuk mendorong atau mengurangi dampak itu," katanya.
Adapun, industri perhotelan di Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan berat akibat berbagai faktor. Kondisi ini pun mengancam keberlangsungan bisnis hingga menyebabkan risiko tutup usaha sampai dengan PHK massal karyawan.
Kondisi industri hotel yang tengah 'lesu darah' ini terungkap dari hasil survei terbaru yang dilakukan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Mengacu survei yang dilakukan PHRI Jakarta pada April 2025, Ketua Umum BPD PHRI Jakarta Sutrisno Iwantono menyampaikan bahwa 96,7% hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian atau okupansi.
PHRI menyebut sebanyak 70% responden menyatakan akan terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan jika kondisi penurunan okupansi hotel terus berlangsung.
“Itu akan berkisar sekitar 10%—30% jumlah karyawan [dari masing-masing hotel] akan dikurangi apabila tidak ada upaya-upaya untuk memperbaiki,” kata Sutrisno dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Selain itu, lanjutnya, 90% responden melakukan pengurangan pekerja harian dan 36,7% akan melakukan pengurangan staf.